Hal yang cukup mengherankan saya adalah konflik yang mengatasnamakan agama. Ia bisa berkembang menjadi konflik yang sangat besar dan berlarut-larut.
Baca Juga: Menjawab Krisis Iklim, Ketika Komunitas Muslim Lokal Menjadi Garda Terdepan Gerakan Lingkungan
Sejarah Perluasan Penganut dan Pengajaran Agama
Terkait dengan penyebab yang bisa memicu konflik berbasis agama, hasil observasi saya menemukan beberapa kenyataan berikut:
Sejarah perluasan pengikut dengan perang dan pengajaran agama di masa lalu yang masih dipraktikkan saat ini turut berperan dalam memprovokasi para penganut agama untuk berkonflik. Akhirnya muncul sikap fanatik dan gairah berkonflik yang bisa memicu perang, karena bias bacaan tentang sejarah masa lalu. Tidak hanya di situ, kepribadiannya juga semakin sensitif terhadap perkembangan hal-hal baru yang terjadi di luar dirinya. Sensitivitas yang berlebihan itu telah menjadikan dirinya menjadi pribadi yang selalu merasa terancam—baik ancaman terhadap aqidah maupun agama yang dianutnya.
Jujur, saya kesulitan dalam membedakan, apakah ancaman itu terkait dengan kepentingan aqidah, agama, atau kepentingan pribadi seseorang yang terkait dengan uang, kekuasaan, bisnis, jabatan, atau peluang kerja.
Baca Juga: Rahasia Mengapa yang Untung Semakin Beruntung
Banyak cerita sejarah yang menggambarkan bagaimana perluasan ajaran agama dilakukan melalui perang. Namun, saya belum menemukan jawaban pasti, apakah pemicu perang yang mengatasnamakan agama itu karena ambisi perluasan wilayah kekuasaan oleh para pemimpin agama, penguasa kerajaan, atau negara, ataukah karena ambisi para pemuka agama yang ingin memperbanyak jumlah pengikutnya. Ada juga yang meyakini bahwa perang itu dilakukan untuk menegakkan kebenaran, kebaikan, dan melawan kemungkaran. Nalar sehat saya berusaha untuk bisa membedakannya.
Dalam pengalaman pribadi saya mengikuti kelas tentang agama di berbagai lembaga pendidikan, saya menemukan bahwa agama sering diajarkan dengan cara yang selalu menganggap agama lain sebagai kompetitor. Hal itu mungkin didasari atas bacaan sejarah panjang tentang peperangan yang mengatasnamakan agama di masa lalu. Para pelajar telah didoktrin sedemikian rupa bahwa keberadaan mereka di dunia ini menjadi terancam, bisa menjadi korban hanya karena agama yang dianutnya. Ada penganut agama lain yang siap menerkam dan memusnahkan agama lain yang tidak sama dengan dirinya. Betulkah seperti itu? Mari kita lihat bersama.
Akibatnya, para penganut agama—alih-alih bisa hidup semakin damai—tetapi selalu ada dalam suasana penuh ancaman. Bisa dibayangkan, bagaimana sikap para murid yang telah lulus belajar agama di sekolah yang mengajarkan materi agama dengan pola semacam itu. Tidak heran apabila muncul individu-individu yang semakin agamis, namun karakter dan perilakunya belum selaras dengan ajaran kebaikan agamanya. Jauh dari itu, mereka tumbuh menjadi pribadi yang fanatik, penuh kebencian, selalu merasa terancam, dan bersiap siaga untuk berperang melawan pengikut agama lain. Alasannya, mereka harus membela aqidah dan agama dengan raga dan nyawa mereka.
Agama Menjadi Korban
Memang ada catatan sejarah yang menggambarkan konflik dan perang antaragama. Namun demikian, catatan sejarah itu perlu dibaca dengan cermat dan penggalian sumber informasi yang lebih lengkap, sehingga kita bisa memahami konteks sejarah dari sudut pandang yang komplit. Catatan sejarah masa lalu sebaiknya tidak hanya digunakan sebagai alat provokasi untuk menyuburkan fanatisme dan permusuhan antar pemeluk agama.
Baca Juga: Seporsi Mie Ayam, Ditulis Brian Khrisna Untuk Terus Menghargai Hidup
Artikel Terkait
Para Perampok yang Bersembunyi di Balik Atribut Kekuasaan
Kejujuran Fondasi Bangsa yang Terlupakan
Kasus Pagar Laut: Pemerintah Tidak Boleh Gegabah, Pahami Undang-Undang
Gaduh Pagar Laut, Framing Politik Berkedok Kepentingan Publik, Fakta di Balik Serangan PSN PIK 2
Pelajaran Politik dari Kisruh Elpiji 3 Kg
Kasus Pagar Laut Tangerang, Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta, Bukan Asumsi Ceroboh