Abdul Gafur menegaskan bahwa laporan yang diajukan mengacu pada Pasal 263 Ayat 1 KUHP tentang pemalsuan surat.
Pasal ini menitikberatkan pada keaslian fisik dokumen, bukan pada proses pendidikan atau status kelulusan.
“Yang dipersoalkan adalah fisik ijazahnya, apakah palsu atau tidak,” katanya.
Karena itu, menurutnya, klarifikasi administratif belum menjawab substansi laporan pidana.
Ia bahkan mendorong Universitas Gadjah Mada untuk bersikap lebih aktif.
UGM dinilai perlu membentuk tim investigasi khusus guna memeriksa ijazah yang dipersoalkan.
“Seharusnya ijazah tersebut ditarik dan diperiksa oleh tim independen,” tegas Abdul Gafur.
Ia mengibaratkan proses tersebut seperti pemeriksaan keaslian uang oleh Bank Indonesia.
Analogi ini menegaskan bahwa pengujian dokumen penting membutuhkan otoritas resmi, metode baku, dan transparansi hasil.
Tanpa itu, kesimpulan apa pun berpotensi diperdebatkan di kemudian hari.
Selain menyoroti peran UGM, tim Roy Suryo Cs juga menyoroti bukti pembanding yang digunakan penyidik.
Menurut Abdul Gafur, bukti pembanding merupakan elemen krusial dalam pengujian keaslian dokumen.
Ia mengingatkan agar bukti pembanding tidak berasal dari sumber yang tidak jelas.
“Jangan sampai bukti pembanding itu diduga dibuat di tempat yang tidak memiliki otoritas,” ujarnya.
Dalam konteks hukum pidana, bukti pembanding yang cacat berpotensi menggugurkan keseluruhan proses pembuktian.
Hal ini bisa berdampak pada kredibilitas penyidikan dan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Sejumlah pakar hukum pidana menilai kehati hatian ini relevan.