Isu tersebut bahkan kerap dianggap sepele dan tidak masuk kategori korupsi karena kurangnya pemahaman regulasi dan batasan etik.
Dalam studi LIPI beberapa tahun sebelumnya, lebih dari 37 persen ASN pernah menyaksikan praktik tidak etis dalam pelayanan publik, dan sebagian besar menganggapnya “mekanisme informal”.
Dengan pendekatan e-Learning antikorupsi, proses edukasi menjadi lebih berulang, mudah diakses, memiliki arsip materi, dan dapat dilihat rekam jejak belajarnya.
Selain itu, modul digital memberi ruang untuk pembaruan yang lebih cepat saat peraturan berubah, tanpa biaya pelatihan fisik besar-besaran.
Baca Juga: 9 Tokoh Antikorupsi Dunia yang Menginspirasi Menjelang Hakordia 2025
Meskipun diapresiasi, sebagian opini publik menilai bahwa pelatihan digital berpotensi menjadi sekadar formalitas jika tidak dibarengi penegakkan disiplin dan budaya organisasi.
Tantangannya bukan hanya teknologi, tetapi perubahan kebiasaan lama yang sudah mengakar puluhan tahun di berbagai level birokrasi.
Namun, langkah KPK membuka pintu solusi baru: pendidikan antikorupsi yang tidak membebani anggaran, bersifat wajib, terdokumentasi, dan mudah diaudit.
Peluncuran e-Learning antikorupsi untuk ASN menjadi fondasi penting bagi masa depan birokrasi yang lebih bersih dan transparan.
Jika pelaksanaan berjalan konsisten, terukur, dan diawasi, program ini berpotensi memangkas praktik petty corruption yang selama ini menjadi akar ketidakpercayaan publik terhadap layanan negara.
Masyarakat pun dapat ikut berperan melalui pengawasan, dokumentasi layanan publik, dan pelaporan bila menemukan penyimpangan, karena pencegahan korupsi membutuhkan kolaborasi, bukan hanya regulasi.***