Menurut Kompol Josman, viralnya rekaman menjadi pintu masuk penyelidikan, termasuk mengidentifikasi wajah serta gaya bertarung para pelaku.
Josman juga menyoroti bagaimana remaja masa kini tengah berada pada fase “mencari identitas” antara dunia nyata dan dunia maya.
Mereka merasa diakui ketika tampil di layar, meski konsekuensinya adalah tindakan kriminal.
Fenomena Tawuran untuk Konten: Dorongan Eksistensi dan Tekanan Algoritma
Kasus ini membuka diskusi yang lebih besar: mengapa tawuran kini berubah menjadi “konten” hiburan digital?
Baca Juga: Jaksa Gadungan Tangsel Bermodus Pejabat Berbintang, Tipu Korban Rp310 Juta dan Simpan Senpi Ilegal
Beberapa faktor yang disebut para pemerhati media digital meliputi:
- Tekanan algoritma: konten kekerasan sering mendapat engagement tinggi.
- Budaya viral: ketenaran instan dianggap lebih berharga daripada keamanan.
- Kurangnya pengawasan orang tua dalam aktivitas digital anak.
- Romantisasi geng dan kekerasan di beberapa platform.
Polisi: Video Terlalu Rapi, Seolah Ada Kameramen Profesional
Kompol Josman menyayangkan fenomena tawuran yang kini berubah menjadi ajang produksi konten.
“Ini seperti ada sutradaranya, seperti ada kameramennya, sehingga hasil video bagus, di-upload ke media sosial untuk menaikan pengikut,” ujarnya.
Polisi menjerat para pelaku dengan Pasal 170 KUHP, dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.