Majelis hakim banding sebelumnya menyatakan Zarof terbukti melakukan dua tindak pidana korupsi:
1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk memengaruhi putusan.
2. Menerima gratifikasi dalam jumlah sangat besar saat menjabat di MA.
Zarof resmi dinyatakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui dengan UU 20/2001.
Kasus ini melibatkan upaya suap sebesar Rp5 miliar yang diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk mempengaruhi putusan kasasi kasus Ronald Tannur pada 2024.
Suap tersebut disebut ditujukan kepada Hakim Agung Soesilo, yang saat itu menjadi ketua majelis pemeriksa perkara.
Namun perkara Zarof tak berhenti di situ. Ia juga didakwa menerima gratifikasi dengan nilai mencengangkan:
- Rp915 miliar, dan
- emas 51 kilogram, yang diperoleh selama 2012–2022 untuk mengurus berbagai perkara di MA.
Harta tersebut telah diputuskan dirampas untuk negara.
Denda Tetap dan Dampak bagi Kepercayaan Publik
Meski hukuman badan naik di tingkat banding, majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap mempertahankan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, sejalan dengan putusan pengadilan tipikor.
Kasus ini memicu reaksi luas di masyarakat. Banyak yang menilai bahwa hukuman 18 tahun merupakan sinyal perbaikan, namun sebagian publik masih mempertanyakan bagaimana pengawasan internal MA dapat membiarkan praktik gratifikasi berjalan selama satu dekade.
Di media sosial, respons warganet cukup keras. Beberapa menyoroti nilai gratifikasi yang mencapai hampir satu triliun rupiah, sementara yang lain menilai kasus ini menunjukkan bahwa