HUKAMANEWS – Suasana Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, mendadak tegang pada Selasa (11/11/2025) siang ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan inspeksi mendadak (sidak) tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Kunjungan Menkeu Purbaya ini menjadi sorotan publik setelah ia menemukan indikasi manipulasi harga barang impor bernilai fantastis.
Dalam sidak tersebut, Purbaya mendapati data mencurigakan: barang impor bernilai hanya Rp117 ribu di dokumen, padahal di pasaran nilainya bisa mencapai Rp40–50 juta.
Temuan ini langsung memunculkan dugaan adanya praktik underinvoicing atau manipulasi nilai faktur untuk menekan bea masuk dan pajak impor.
Temuan itu memicu perhatian luas, bukan hanya karena potensi kerugian negara, tapi juga karena menggambarkan lemahnya sistem pengawasan dalam rantai logistik nasional.
Publik pun mempertanyakan sejauh mana praktik serupa terjadi di pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia.
Dugaan Manipulasi Harga Barang Impor
Dalam inspeksi mendadak tersebut, Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti kejanggalan pada laporan harga barang impor yang terlihat tidak masuk akal.
“Ada barang yang jelas-jelas terlalu murah. Masa barang sebagus itu cuma tercatat 7 dolar AS, padahal di pasaran harganya bisa mencapai Rp40 sampai Rp50 juta,” ujar Purbaya tegas.
Dengan kurs dolar sekitar Rp16.700, harga yang tercatat di sistem hanya sekitar Rp117 ribu, selisih yang sangat jauh dari nilai pasar sebenarnya.
Baca Juga: Bobby vs Toto: Diplomasi Gemas ala Prabowo dan Albanese yang Curi Hati Publik
Praktik underinvoicing seperti ini sering digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak impor, yang pada akhirnya bisa merugikan negara hingga miliaran rupiah per tahun.
Menurut pakar ekonomi logistik dari Universitas Airlangga, Dr. Rino Saputra, fenomena underinvoicing kerap terjadi pada barang elektronik, perhiasan, hingga produk mewah.
“Selisih harga ekstrem seperti itu bisa menjadi indikator kuat adanya manipulasi faktur. Ini bisa jadi sindikat besar yang bermain lintas pelabuhan,” ungkapnya saat dimintai tanggapan.