“Secara organisasi, Polri sudah bagus. Sudah dipisahkan dari militer, struktur dan fungsi internalnya juga terus diperbaiki,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa pembentukan Komisi Reformasi Polri juga sarat nuansa politik.
“Tergantung keinginan politiknya mau dibawa ke mana. Kita hanya pelaksana,” ucapnya, menegaskan bahwa dinamika politik bisa mempengaruhi arah kebijakan reformasi.
Dua Komisi, Dua Arah
Komisi Reformasi Polri kini hadir dalam dua versi.
Pertama, Komisi Reformasi Internal Polri, dibentuk pada 17 September 2025 dengan 52 perwira tinggi dan diketuai Kalemdiklat Polri Komjen Chrysnanda Dwilaksana.
Kedua, Komisi Percepatan Reformasi Polri, versi Presiden Prabowo, yang resmi dilantik pada 7 November 2025.
Anggotanya terdiri dari tokoh hukum dan keamanan nasional seperti Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, Otto Hasibuan, Mahfud MD, hingga mantan Kapolri Tito Karnavian dan Listyo Sigit Prabowo.
Komisi ini ditugaskan memberikan rekomendasi kebijakan kepada Presiden dan institusi Polri guna mempercepat transformasi kepolisian yang profesional dan humanis.
Jimly menegaskan bahwa hasil akhir dari komisi tersebut berupa policy recommendation untuk memperkuat fungsi pelayanan publik dan akuntabilitas aparat.
Pelayanan Publik Jadi Tolok Ukur
Pandangan Dedy Tabrani sejalan dengan aspirasi publik yang menuntut Polri lebih terbuka, responsif, dan berorientasi pada masyarakat.
Dalam berbagai survei, kepercayaan publik terhadap Polri kerap naik-turun, terutama setelah kasus-kasus pelanggaran etik atau lambannya penanganan perkara yang menonjol di media.
Menurut Dedy, reformasi Polri akan berhasil bila mampu mengubah budaya pelayanan menjadi lebih empatik dan cepat tanggap.