Pieter menilai, angka itu menjadi alarm nasional bahwa DPR belum mampu menjaga mutu legislasi.
Ia mencontohkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang sebagian pasalnya dibatalkan MK karena dinilai gagal memahami konstitusi.
“Pasal yang memaksa seluruh pekerja menjadi peserta Tapera jelas menyalahi prinsip sukarela. Negara tidak boleh lepas tangan dalam menjamin hak atas tempat tinggal,” kata Pieter.
Selain Tapera, Pieter menyoroti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai berpotensi membungkam kebebasan berekspresi.
“Beberapa pasal dalam UU ITE masih multitafsir dan bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik publik. Ini bukti lemahnya uji etik dan nalar konstitusional dalam penyusunan undang-undang,” jelasnya.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Tegur BEI Soal Saham Gorengan: Bereskan Dulu Pasar Modal Kita!
Rendahnya mutu legislasi juga tampak dari produktivitas DPR.
Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan, dari 263 rancangan undang-undang dalam Prolegnas 2019–2024, hanya sekitar 10 persen yang berhasil disahkan.
“Itu pun banyak yang bermasalah secara substansi. Ironisnya, DPR justru lebih sibuk membicarakan tunjangan dan fasilitas ketimbang memperjuangkan hak rakyat,” tambah Pieter.
Pieter menilai, gelombang pembatalan undang-undang oleh MK bukan sekadar koreksi hukum, melainkan tamparan politik bagi DPR dan pemerintah.
“Ini peringatan keras bahwa legislasi kita telah kehilangan arah. Undang-undang lahir dari tawar-menawar kepentingan, bukan dari pemikiran yang jernih,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa reformasi legislasi harus dimulai dari hulu, yakni dari partai politik.
“Partai harus berhenti menjadikan rekrutmen politik sebagai ajang mencari figur viral. Parlemen bukan panggung hiburan. Partai politik seharusnya menjadi sekolah kader bangsa, bukan pasar elektabilitas,” tegasnya.
Selain itu, Pieter mendorong agar proses legislasi dikembalikan ke prinsip transparansi, riset berbasis bukti, dan partisipasi publik yang sejati.