HUKAMANEWS – Mutu legislasi di Indonesia dinilai terus menurun akibat parlemen yang lebih sibuk mengejar popularitas ketimbang kapasitas.
Fenomena ini membuat DPR kehilangan arah dan akal sehat politiknya.
Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., mengungkapkan bahwa kondisi tersebut berakar dari sistem rekrutmen pragmatis di partai politik yang hanya menonjolkan figur populer tanpa memperhatikan kemampuan berpikir dan integritas kebijakan.
“Parlemen seharusnya menjadi rumah kebijaksanaan bangsa, bukan panggung pencitraan,” ujar Pieter kepada HUKAMANEWS, Senin (13/10/2025).
“Sayangnya, yang dicari sekarang bukan yang bisa berpikir, tapi yang dikenal.”
Menurutnya, komposisi anggota DPR periode 2024–2029 mencerminkan kecenderungan tersebut.
Berdasarkan data Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sekitar 43,6 persen anggota DPR merupakan wajah baru, dan sebagian besar berasal dari kalangan artis, influencer, hingga pengusaha yang minim pengalaman politik.
“Regenerasi seharusnya membawa energi baru, tapi yang terjadi justru degradasi kapasitas. Banyak legislator tidak memahami tugas konstitusionalnya, apalagi prinsip hukum dalam pembuatan undang-undang,” tegas Pieter.
Pieter menyebut, di bawah bayang-bayang politik pencitraan, proses legislasi kerap dilakukan secara tergesa-gesa tanpa riset mendalam dan partisipasi publik yang memadai.
“Undang-undang lahir tanpa uji etik, tanpa kajian akademik yang matang. Demokrasi pun tersesat di antara kalkulasi suara dan transaksi kuasa,” ujarnya.
Data Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat kekhawatiran tersebut.
Sepanjang Januari–September 2025, MK mengeluarkan 196 putusan pengujian undang-undang (PUU), dan 26 di antaranya dikabulkan.
Ini berarti, ada 13 persen produk legislasi yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945.