ARUKKI menilai Kejaksaan tidak serius menuntaskan perkara, bahkan sempat mendesak agar Silfester segera dieksekusi.
Namun, dengan adanya putusan PN Jaksel, tekanan publik justru berbalik menyoroti mengapa kasus yang sudah kedaluwarsa masih terus dihidupkan.
Di media sosial, kasus ini memunculkan dua kubu opini. Sebagian netizen menilai Silfester seharusnya bebas karena sudah melewati masa kedaluwarsa perkara.
Di sisi lain, ada yang menilai kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum yang bisa ditafsirkan berbeda oleh masing-masing pihak.
Baca Juga: Mensesneg Pilih Bungkam soal Pencabutan ID Pers CNN, Fokus MBG Malah Jadi Sorotan Baru
Pakar hukum Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan beberapa media, menyebut putusan PN Jaksel bisa menjadi preseden penting agar praperadilan tidak dijadikan alat politik.
“Keadilan harus dilihat dari prinsip hukum, bukan tekanan massa atau kepentingan kelompok,” ujarnya.
Penolakan praperadilan ARUKKI oleh PN Jaksel menunjukkan pentingnya kepastian hukum. Jika kasus Silfester tetap dipaksakan, potensi pelanggaran prosedur justru bisa membuka ruang sengketa baru.
Bagi publik, putusan ini mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar instrumen politik, melainkan pijakan menjaga keadilan.
Kasus Silfester bisa menjadi pelajaran bahwa kebebasan berpendapat tetap harus dilindungi, tanpa mengabaikan aturan hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, perdebatan soal Silfester bukan hanya soal individu, tetapi tentang bagaimana negara mengelola hukum, politik, dan kebebasan sipil di ruang publik.***