Hingga kini, lembaga antirasuah menduga ada 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji yang terlibat. Jumlah ini menunjukkan luasnya jaringan yang bermain dalam bisnis gelap kuota haji.
Sorotan DPR: Pansus Angket Bongkar Kejanggalan
Selain langkah KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan haji 2024. Salah satunya adalah pembagian kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi sebanyak 20.000 jamaah.
Kemenag saat itu membagi rata 10.000 kuota untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Padahal, Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 jelas mengatur bahwa kuota haji khusus hanya 8 persen, sedangkan 92 persen dialokasikan untuk haji reguler.
Skema yang melanggar proporsi ini memicu dugaan adanya permainan kuota yang menguntungkan kelompok tertentu, terutama penyelenggara haji khusus yang biayanya lebih tinggi.
Baca Juga: KPK Periksa Eks Bendahara AMPHURI soal Skandal Korupsi Kuota Haji 2024
Kasus ini memicu gelombang kritik dari publik, terutama calon jamaah haji yang merasa haknya dirugikan.
Banyak yang menilai praktik manipulasi kuota tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola ibadah suci.
Di media sosial, sejumlah netizen menyuarakan keresahan bahwa haji yang seharusnya menjadi ibadah murni justru dijadikan ajang bisnis gelap.
“Kalau urusan haji saja sudah diatur untuk keuntungan segelintir orang, bagaimana dengan pelayanan jamaah?” tulis salah satu warganet di platform X (Twitter).
KPK Diminta Transparan, Jamaah Berharap Kepastian
Publik kini menanti langkah lanjutan KPK dalam menetapkan tersangka, termasuk mengungkap identitas pengumpul utama dana.
Transparansi menjadi tuntutan utama, mengingat kasus ini menyangkut kepercayaan jutaan umat Islam di Indonesia.
Pengamat hukum menilai KPK harus berhati-hati, namun tetap tegas.
“Ini bukan sekadar soal uang negara, tetapi juga soal integritas penyelenggaraan rukun Islam kelima. Jika tidak dibersihkan, praktik ini bisa terus berulang setiap tahun,” ujar analis hukum tata negara dari Universitas Indonesia.