Di era digital, kebocoran data kerap menjadi masalah serius, mulai dari kasus penjualan data nasabah hingga kebocoran data platform daring.
Namun di sisi lain, kerja jurnalis dan peneliti sering kali memerlukan akses pada data tertentu demi kepentingan publik.
Sejumlah pakar hukum menilai penting untuk memperjelas batasan “secara melawan hukum” dalam UU PDP agar tidak multitafsir.
Tanpa kejelasan, aparat penegak hukum bisa menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pihak yang justru menjalankan fungsi kontrol sosial.
Opini publik di media sosial juga terbelah. Sebagian mendukung perlindungan data pribadi agar tidak disalahgunakan, sementara lainnya khawatir UU PDP menjadi “tameng” untuk membungkam kritik.
Kasus uji materi di MK ini akan menjadi ujian penting bagi keseimbangan antara pelindungan data pribadi dan kebebasan pers di Indonesia.
Jika tafsir UU PDP tidak diperjelas, potensi konflik antara aparat, media, dan masyarakat sipil bisa semakin besar.
Ke depan, publik menanti keputusan MK yang tidak hanya melindungi privasi warga, tetapi juga menjamin hak atas informasi serta kebebasan berekspresi sebagai fondasi demokrasi.***