Kasus ini menegaskan kembali pentingnya sistem LHKPN sebagai instrumen pengawasan publik.
Menurut pakar tata kelola pemerintahan, transparansi harta kekayaan adalah salah satu pilar integritas pejabat negara.
“Kalau ada data minus, harus ditelusuri. Bukan berarti dibiarkan, tapi justru menjadi alarm untuk mengecek apakah ada ketidakwajaran,” kata seorang pengamat antikorupsi dari Universitas Negeri Gorontalo.
Selain itu, publik juga menilai KPK perlu lebih proaktif mengaudit laporan harta kekayaan pejabat, bukan hanya menerima begitu saja.
Kasus Wahyudin bisa menjadi contoh nyata mengapa sistem verifikasi dan audit mendalam sangat penting.
Kasus harta minus Rp2 juta milik Wahyudin Moridu kini menjadi sorotan yang lebih besar daripada sekadar angka di LHKPN.
Di satu sisi, bisa jadi laporan tersebut mencerminkan kondisi nyata yang penuh beban utang. Namun di sisi lain, publik berhak curiga dan meminta transparansi lebih jauh.
KPK berjanji akan menindaklanjuti laporan ini. Jika terbukti ada manipulasi atau ketidakjujuran, kasus tersebut bisa berbuntut panjang dan berdampak pada kepercayaan publik terhadap integritas pejabat negara.
Pada akhirnya, publik menunggu bukti nyata dari komitmen antikorupsi: bukan hanya jargon, tetapi juga langkah konkret yang menegakkan keadilan.
Kasus Wahyudin Moridu bisa menjadi momentum untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas pejabat publik di Indonesia.***