Dari hasil penyelidikan, sindikat ini telah mengumpulkan 25 bayi, dengan 15 di antaranya berhasil diselundupkan ke Singapura melalui modus adopsi ilegal.
Para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp600 juta.
Kasus ini bukan sekadar kriminal biasa, melainkan bentuk kejahatan terorganisir yang merugikan hak asasi anak.
UNICEF pernah mencatat, perdagangan bayi merupakan bagian dari human trafficking global yang terus berkembang, terutama di negara berkembang dengan regulasi adopsi yang lemah.
Baca Juga: DPRD Gorontalo Geger! Video Anggota PDIP Ngaku Mau 'Merampok Uang Negara' Viral di TikTok
Di Indonesia sendiri, kasus serupa sudah beberapa kali terbongkar. Beberapa tahun lalu, Polda Metro Jaya juga mengungkap sindikat penjualan bayi lewat media sosial.
Modusnya hampir sama: menggunakan alasan adopsi untuk menutupi transaksi ilegal.
Masyarakat menanggapi kasus ini dengan rasa prihatin sekaligus marah. Di media sosial, banyak warganet mendesak pemerintah memperketat sistem adopsi dan memperkuat pengawasan rumah sakit serta bidan.
Tidak sedikit yang menilai kasus ini sebagai “tamparan keras” terhadap negara karena menunjukkan lemahnya perlindungan anak di level akar rumput.
Pengungkapan sindikat ini menunjukkan keseriusan Polri dan SPF dalam memberantas perdagangan bayi lintas negara.
Baca Juga: Purbaya Cari Cara Tekan Subsidi Listrik Tanpa Kenaikan Tarif, PLTS Jadi Andalan
Namun pekerjaan belum selesai. Tugas besar masih menanti, mulai dari pemulihan psikologis bayi korban hingga pengetatan regulasi agar praktik serupa tidak terulang.
Masyarakat juga diimbau ikut berperan dengan melaporkan indikasi perdagangan anak, baik di lingkungan sekitar maupun di platform digital. Kesadaran kolektif menjadi kunci agar setiap bayi lahir dengan hak yang utuh, bukan sebagai komoditas.***