- Dokumen revisi tidak dibuka secara transparan oleh DPR maupun pemerintah.
Kondisi ini membuat publik merasa kehilangan ruang partisipasi dalam penyusunan aturan yang berdampak besar terhadap kehidupan bernegara.
Suara Kritis dari 4 Hakim MK
Meskipun mayoritas hakim MK menolak uji formil, empat hakim menyuarakan kritik keras. Berikut pokok pandangan mereka:
1. Suhartoyo
Menekankan bahwa partisipasi publik adalah hak konstitusional. Ia menilai revisi UU TNI seharusnya dinyatakan cacat formil secara bersyarat, dengan perintah perbaikan dalam waktu maksimal dua tahun.
2. Saldi Isra
Menggarisbawahi keganjilan revisi UU TNI yang awalnya tidak ada dalam Prolegnas Prioritas 2025. Menurutnya, DPR tidak konsisten dalam mekanisme legislasi karena tiba-tiba memasukkan revisi ini di tengah jalan.
Baca Juga: Mangrove, Benteng Alami Pesisir yang Lebih Kuat dari Tembok Beton
3. Arsul Sani
Menyoroti minimnya akses publik terhadap draft revisi UU TNI. Ia menyebut proses legislasi tertutup ini menghalangi masyarakat untuk memberi masukan, sehingga bertentangan dengan asas keterbukaan.
4. Enny Nurbaningsih
Mengkritisi cepatnya pembahasan tingkat I di DPR yang membuat masyarakat tak punya waktu ikut serta. Ia menegaskan, keterbukaan dan partisipasi publik harus dijadikan pijakan dalam revisi UU TNI.
Analisis: Mengapa Keterbukaan Publik Penting dalam Legislasi?
Perdebatan UU TNI mencerminkan tantangan besar dalam proses demokrasi Indonesia.