Namun, aset yang berhasil dipulihkan hanya sekitar Rp2,5 triliun.
“Jurang ini luar biasa. Tanpa instrumen yang efektif, kerugian negara hanya akan semakin besar. Jika RUU ini disahkan dengan kualitas baik, maka efek jera terhadap koruptor bisa lebih nyata,” tegasnya.
Meski demikian, Pieter mengingatkan adanya potensi benturan hukum dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini mewajibkan adanya putusan pengadilan untuk perampasan aset.
“Ini krusial. Jangan sampai perampasan aset dijadikan alat politik balas dendam. Karena itu, pembahasan harus transparan, akuntabel, dan melibatkan pakar independen serta masyarakat sipil,” jelasnya.
Baca Juga: Kasus Korupsi Kredit Sritex Makin Panas, 3 Tersangka Resmi Diserahkan ke Kejari Surakarta!
Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan dukungannya terhadap RUU ini.
Dalam pidato Hari Buruh 1 Mei 2025, ia menyebut regulasi tersebut vital untuk menarik kembali kekayaan negara dari tangan koruptor.
Namun, Pieter menekankan dukungan politik saja tidak cukup.
“Masalahnya ada di DPR. Tarik-menarik kepentingan antarpartai dan elite politik masih menjadi faktor utama. Tanpa sikap tegas dan jujur dari para ketua umum partai, RUU ini bisa kembali mandek,” katanya.
Indonesia sejatinya sudah memiliki pijakan kuat karena meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Jika prinsip-prinsip UNCAC benar-benar diadopsi, RUU ini bisa menjadi senjata penting melawan korupsi.
“RUU Perampasan Aset bukan sekadar regulasi teknis. Ini ujian moral bagi elite politik kita: apakah mereka sungguh berpihak pada kepentingan bangsa atau hanya sekadar bermain retorika politik,” ujar Pieter menegaskan.
Ia menambahkan, jika DPR dan pemerintah hanya meloloskan RUU tanpa kualitas substansi, potensi kembalinya gelombang demonstrasi rakyat sangat besar.
“Rakyat akan mencatatnya sebagai pengkhianatan sejarah. Dan sejarah, sekali ditulis oleh rakyat, tidak bisa dihapus oleh manuver elite,” tutup Pieter. ***