RUU Perampasan Aset Dibahas Lagi Usai Demo Besar, Pengamat Peringatkan Elite Soal Risiko Politik dan Ujian Moral

photo author
- Rabu, 17 September 2025 | 20:00 WIB
Dr Pieter C Zulkifli sebut pembahasan RUU Perampasan Aset jadi ujian moral elite politik di Senayan. (HukamaNews.com)
Dr Pieter C Zulkifli sebut pembahasan RUU Perampasan Aset jadi ujian moral elite politik di Senayan. (HukamaNews.com)

HUKAMANEWS – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akhirnya kembali masuk pembahasan di DPR setelah gelombang demonstrasi mahasiswa dan buruh berlangsung selama sepekan di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, akhir Agustus 2025.

Aksi tersebut bahkan menelan korban jiwa seorang pengemudi ojek online.

Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menilai momentum ini menunjukkan lemahnya kemauan politik wakil rakyat.

Ia menyebut DPR baru bergerak setelah diguncang tekanan publik.

Baca Juga: KPK Segera Umumkan Tersangka Korupsi Kuota Haji, Dugaan Kerugian Negara Capai Rp1 Triliun

“Fakta bahwa DPR hanya bertindak setelah ada demo besar memperlihatkan betapa lemahnya kemauan politik mereka. Padahal RUU ini sudah tertunda 15 tahun,” ujar Pieter kepada HukamaNews, Rabu (17/9/2025).

Sejak pertama kali diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008, RUU ini sudah masuk Program Legislasi Nasional 2010.

Namun, nasibnya terus terombang-ambing dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga kini di tangan Presiden Prabowo Subianto.

Pada era Jokowi, draf RUU bahkan sempat diajukan ke DPR pada 2023, tetapi terhenti karena hiruk-pikuk politik elektoral.

Kini, desakan publik yang semakin besar memaksa pemerintah dan DPR kembali membuka ruang pembahasan.

Baca Juga: Presiden Prabowo Resmi Tunjuk Erick Thohir Jadi Menpora, Publik Ramai Prediksi Era Baru Olahraga Indonesia

“RUU Perampasan Aset sejatinya adalah instrumen vital untuk memulihkan uang rakyat yang dikorupsi. Tetapi selama ini, resistensi politik selalu lebih kuat daripada aspirasi publik,” kata Pieter.

Konsep utama dalam RUU ini adalah non-conviction based asset forfeiture, yaitu perampasan aset tanpa menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Dengan mekanisme ini, aset hasil korupsi bisa segera disita dan dikembalikan ke negara.

Pieter menegaskan, mekanisme tersebut mendesak diterapkan mengingat data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2020–2024 mencapai Rp45,7 triliun.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Jiebon

Sumber: Liputan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X