Namun di sisi lain, banyak keluarga PMI dan calon pekerja mengaku berharap moratorium segera dicabut.
“Di kampung saya, banyak yang menunggu Arab Saudi dibuka lagi. Gajinya lebih tinggi dan prosesnya lebih cepat dibanding negara lain,” kata Dewi, salah satu mantan PMI asal Indramayu, ketika dihubungi UlasBandung.
Roster Korea Selatan, Ancaman Jadi Masalah Sosial
Selain Arab Saudi, Karding juga meninggalkan catatan penting terkait roster Korea Selatan.
Saat ini, sekitar 16.000 calon PMI sudah memenuhi persyaratan dan dinyatakan lulus seleksi, tetapi belum mendapat penempatan dari perusahaan Korea melalui skema kerja sama pemerintah ke pemerintah (G to G).
Jika tidak segera ditangani, antrean panjang tersebut berpotensi menimbulkan persoalan sosial.
Calon pekerja yang sudah menunggu lama rawan terjebak menjadi korban agen ilegal atau bahkan menimbulkan keresahan di daerah asal mereka.
“Roster Korea ini bisa jadi bom waktu kalau pemerintah tidak sigap. Para calon PMI sudah keluar biaya, waktu, bahkan meninggalkan pekerjaan lama. Kalau tidak ada kepastian, mereka akan tertekan,” kata pengamat migrasi dari Universitas Indonesia, Rani Utami.
Tantangan Mukhtarudin: Antara Harapan dan Beban
Sebagai menteri baru, Mukhtarudin menghadapi dilema klasik: bagaimana membuka peluang kerja seluas-luasnya bagi pekerja migran Indonesia, namun tetap memastikan aspek pelindungan dan kesejahteraan mereka terjamin.
Selain dua isu besar yang ditinggalkan Karding, Mukhtarudin juga dituntut untuk memperkuat sistem digitalisasi penempatan, mempercepat diplomasi tenaga kerja dengan negara tujuan baru, serta memberantas praktik perdagangan orang yang masih marak.
Baca Juga: Keluarga Korban Tuntut Hukuman Mati bagi Pelaku Pembunuhan Satu Keluarga di Indramayu
Pekerja migran sendiri berharap, perubahan kepemimpinan di P2MI membawa angin segar.
“Kami butuh kepastian, bukan janji. Banyak teman-teman yang sudah siap berangkat tapi masih terkatung-katung,” ujar Rudi, calon PMI asal Lombok