Program Nyata Lebih Dibutuhkan
Dede Yusuf menyoroti bahwa program pemerintah harus menyentuh kebutuhan sehari-hari masyarakat. Menurutnya, langkah konkret seperti operasi pasar murah, program beasiswa untuk pelajar kurang mampu, hingga bantuan langsung tunai akan lebih bermakna ketimbang proyek-proyek simbolis.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya memperbanyak program padat karya agar dapat membuka lapangan kerja baru.
“Fokuskan pembangunan pada padat karya, libatkan masyarakat agar tercipta lapangan kerja,” jelasnya.
Respon Publik: Setuju atau Sekadar Retorika?
Kritik Dede Yusuf mendapat perhatian luas di media sosial. Banyak netizen yang mendukung pernyataannya, terutama karena fenomena flexing pejabat kerap jadi sorotan.
Di Twitter, komentar warganet ramai menyebut gaya hidup mewah pejabat sebagai bentuk “pamer tanpa rasa malu” di tengah krisis ekonomi.
Namun, ada juga suara skeptis yang menilai kritik seperti ini sering berhenti pada tataran wacana. Beberapa netizen menyindir bahwa para politisi kerap menyampaikan pesan moral saat tidak sedang berkuasa.
Pernyataan Dede Yusuf membuka kembali diskusi tentang standar etika pejabat publik di Indonesia.
Publik kini menuntut lebih dari sekadar kata-kata: mereka ingin melihat kebijakan yang benar-benar dirasakan langsung di dapur rakyat.
Apakah kritik ini akan menggugah para pejabat untuk lebih sederhana dan fokus pada program nyata, atau justru tenggelam seperti wacana-wacana sebelumnya?
Baca Juga: Dari Santri untuk Bumi: Green Pesantren Subulus Salam Melawan Pemanasan Global
Satu hal yang jelas, rakyat semakin cerdas membaca realitas. Empati bukan lagi sekadar kata manis, tapi tuntutan nyata yang harus dijawab.***