- Kualitas seleksi calon. Mendorong partai politik lebih serius mencalonkan kader terbaik, bukan sekadar figur populer.
- Peran perempuan dan kelompok marjinal. Memastikan keterwakilan tetap terjamin, sesuai amanat konstitusi.
Di media sosial, wacana revisi UU Pemilu ini memantik perdebatan hangat. Ada yang menilai langkah pemerintah sebagai upaya positif memperbaiki kualitas demokrasi.
Namun, tak sedikit pula yang skeptis, menganggap revisi hanya formalitas tanpa perubahan substansial.
Baca Juga: Trend Lampu LED Mobil dan Motor, Inovasi Pencahayaan Kendaraan yang Hemat Energi dan Kian Digemari
“Revisi UU Pemilu harus serius. Jangan cuma ganti aturan teknis, tapi betul-betul bisa melahirkan wakil rakyat yang paham persoalan rakyat, bukan seleb dadakan,” tulis seorang netizen di platform X.
Sementara itu, sebagian masyarakat di Bandung menyoroti aspek biaya politik yang semakin mahal. Mereka berharap revisi UU bisa mengurangi praktik politik uang yang kerap marak saat kampanye.
Jika pemerintah benar-benar serius, revisi UU Pemilu ini bisa menjadi momentum emas untuk memperbaiki wajah politik nasional.
Demokrasi yang sehat tak hanya memberi ruang pada popularitas, tapi juga menempatkan integritas dan kompetensi sebagai syarat utama.
Baca Juga: 'Colek' Prabowo, Hotman Paris Desak Gelar Perkara Nadiem di Istana
Namun, pekerjaan rumahnya jelas tidak ringan. Selain perdebatan teknis di DPR, tantangan terbesar justru ada pada implementasi di lapangan. Bagaimana menjamin aturan baru bisa berjalan efektif dan tidak diselewengkan?
Ke depan, publik akan menunggu langkah pemerintah dan DPR.
Revisi UU Pemilu bukan hanya soal regulasi, melainkan juga cerminan apakah elite politik sungguh-sungguh mau memperbaiki kualitas demokrasi, atau sekadar mempertahankan status quo.***