RAP bahkan disebut sebagai koordinator pembawa bom Molotov ke lokasi unjuk rasa serta membagikan titik distribusi kepada peserta aksi.
Adapun tersangka FL (admin akun @fg) melakukan siaran langsung kerusuhan pada 25 Agustus lalu.
Tayangan itu, menurut Kompol Gilang Prasetya dari Ditreskrimum Polda Metro Jaya, ditonton hingga 10 juta orang dan memperbesar skala provokasi.
Analisis: Media Sosial Jadi Senjata Baru
Kasus ini memperlihatkan betapa besar pengaruh media sosial dalam memobilisasi massa, bahkan secara instan.
Dengan hanya satu siaran langsung, jutaan orang bisa terprovokasi, dan sebagian di antaranya termotivasi untuk turun ke jalan.
Baca Juga: Gelombang Demo Tak Reda, Mahfud MD: Pemerintah Salah Obat, Akar Masalah Belum Dijawab!
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, berbagai unjuk rasa di sejumlah daerah juga kerap dipanaskan lewat narasi viral di platform digital.
Namun, keterlibatan pelajar dan anak-anak kali ini membuat kasusnya jauh lebih kompleks.
Menurut pengamat komunikasi politik, fenomena “digital mob” seperti ini bisa berbahaya karena algoritma media sosial mendorong konten provokatif lebih cepat viral dibanding informasi netral.
“Keterlibatan pelajar menunjukkan lemahnya literasi digital dan pengawasan orang tua di ruang daring,” ujarnya.
Dampak Sosial dan Kekhawatiran Publik
Respon publik pun beragam. Sebagian netizen mengecam keras para tersangka karena dianggap memperalat anak-anak untuk kepentingan politik tertentu.
Di sisi lain, ada juga yang menilai kasus ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat literasi digital di sekolah-sekolah.
Di Jakarta sendiri, kerusuhan yang melibatkan pelajar bukan hal baru.