Ia menyebut Pasal 21 mengandung ancaman hukuman yang lebih berat dibanding pasal-pasal utama dalam tindak pidana korupsi.
Padahal, menurutnya, pasal ini seharusnya hanya berfungsi sebagai pelengkap dan tidak dapat berdiri sendiri dalam memvonis seseorang.
Uji materi ini diajukan pada 24 Juli 2025, sehari sebelum vonis terhadap Hasto dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Dalam sidang tersebut, hakim menyatakan Hasto bersalah karena terbukti menyuap Wahyu Setiawan dengan dana sebesar Rp 400 juta demi memuluskan jalan Harun Masiku untuk menggantikan posisi anggota DPR dari PDIP.
Namun, Hasto tidak terbukti menghalang-halangi penyidikan dalam pengejaran Harun Masiku sebagaimana sempat didakwakan oleh jaksa KPK.
Meskipun begitu, langkah Hasto menggugat Pasal 21 UU Tipikor kini menjadi sorotan karena bisa berdampak lebih luas terhadap proses penegakan hukum di Indonesia.
Jika MK mengabulkan permohonan tersebut, maka efektivitas hukum terhadap pelaku yang mencoba menggagalkan penyidikan berpotensi terancam.
KPK mengingatkan bahwa keutuhan dan kekuatan hukum tidak boleh dilemahkan oleh celah konstitusional yang disalahgunakan untuk kepentingan individu.
Hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi belum menetapkan jadwal sidang perdana atas permohonan uji materi tersebut.
Namun satu hal yang pasti, upaya Hasto ini akan mengundang perhatian publik, terutama mereka yang mengawal isu pemberantasan korupsi dan integritas hukum di negeri ini.
Langkah hukum Hasto juga akan menjadi ujian bagi MK dalam menimbang antara hak konstitusional warga negara dengan kepentingan penegakan hukum yang lebih luas.
Jika permohonan ini dikabulkan, bisa jadi akan membuka pintu bagi tersangka lain untuk mencoba jalur serupa.
KPK berharap Mahkamah Konstitusi tetap mengedepankan nilai keadilan dan urgensi pemberantasan korupsi dalam mempertimbangkan gugatan ini.