Tak hanya YR, ada juga BR (Benny Riswandi) yang menjabat Senior Executive Vice President di Bank BJB selama 2019–2023.
Sebagai bagian dari Komite Kredit Kantor Pusat IV, BR punya tanggung jawab penuh atas kelayakan kredit sebesar Rp200 miliar.
Namun, BR justru dinilai lalai karena tidak menjalankan prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, condition), yang sejatinya jadi landasan utama dalam menilai permohonan kredit.
Ia bahkan mengabaikan fakta penting bahwa Sritex mengalami penurunan ekspor, produksi, dan peningkatan utang di beberapa bank lain berdasarkan data Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
Alih-alih mengedepankan kehati-hatian, BR justru mengambil keputusan berbasis kepercayaan semata karena PT Sritex sudah go public dan dianggap selalu menyajikan laporan keuangan yang “baik”.
Baca Juga: Kasus Chromebook Kemendikbudristek, 9 Saksi Diperiksa, Kerugian Negara Capai Rp1,98 Triliun
Di sisi lain, penyimpangan juga terjadi di Bank Jateng.
Dua pejabat penting, SP (Suprayitno) dan PJ (Pujiono), masing-masing menjabat sebagai Direktur Utama dan Direktur Bisnis Korporasi & Komersial, juga disorot tajam.
Keduanya menyetujui pemberian fasilitas kredit rantai pasok (Supply Chain Financing/SCF) meski perusahaan tengah terlilit utang yang nilainya melebihi aset.
Lebih fatal lagi, keduanya tidak membentuk komite kebijakan kredit (KKP) maupun komite pembiayaan (KK) sebagaimana prosedur standar yang berlaku.
Tak berhenti di situ, mereka juga menandatangani memorandum analisis kredit (MAK) tanpa verifikasi langsung terhadap laporan keuangan audited PT Sritex tahun 2016–2018.
Padahal laporan keuangan adalah dokumen vital yang harus dianalisis secara mendalam untuk mencegah risiko pembiayaan.
Satu tersangka lain dari Bank Jateng, yakni SD (Suldiarta), Kepala Divisi Bisnis Korporasi dan Komersial, juga ikut terseret.
SD disebut menandatangani MAK dan menyetujui pencairan kredit tanpa melakukan cross-check terhadap laporan keuangan yang dijadikan dasar pengajuan pinjaman.