Ia menyebut tak ada satu pun saksi yang menyatakan melihat langsung Hasto ataupun Harun Masiku di lokasi tersebut.
“Yang mereka pegang cuma data Call Detail Record. Tidak ada saksi, tidak ada bukti visual. Jadi, argumen jaksa itu rapuh,” ujar Maqdir.
Dengan berbagai kejanggalan tersebut, pihak Hasto menyimpulkan bahwa replik yang dibacakan oleh JPU tidak relevan dan tidak didukung oleh fakta-fakta hukum yang terbuka dalam proses persidangan.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan posisi tim pengacara yang sejak awal menilai proses hukum terhadap Hasto terkesan dipaksakan dan kurang transparan dalam penyajian bukti.
Meski demikian, hingga saat ini KPK masih menjadikan data CDR sebagai komponen utama dalam konstruksi dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto.
Di sisi lain, publik kini menanti seperti apa putusan hakim dalam perkara ini, khususnya setelah munculnya sejumlah keraguan terhadap validitas alat bukti yang disampaikan Jaksa.
Kasus ini sendiri merupakan bagian dari pengusutan yang lebih besar terkait keberadaan Harun Masiku, eks caleg PDIP yang hingga kini masih buron, dan dugaan adanya upaya menghalangi penyidikan yang menyeret nama-nama penting dalam partai.
Dengan sorotan terhadap penggunaan bukti digital seperti CDR yang dianggap tidak akurat, sidang Hasto menjadi panggung penting untuk menguji bagaimana integritas pembuktian dalam sistem peradilan pidana kita.
Baca Juga: KPK Periksa 5 Saksi Tambahan di Kasus Suap Hibah Jatim, Jaring Hukum Makin Diperluas
Apakah bukti digital cukup kuat untuk menggantikan kesaksian langsung? Dan sejauh mana akurasinya mampu menentukan nasib hukum seseorang?
Kita tunggu bersama bagaimana kelanjutan sidang ini akan membuka tabir yang selama ini tertutup dalam kasus Harun Masiku.***