Ia menduga narasi tersebut dibangun secara sepihak untuk memperkuat dakwaan terhadap Hasto.
Lebih lanjut, Maqdir juga mempertanyakan motif di balik penetapan Hasto sebagai tersangka.
Ia menyebut ada indikasi tekanan politik, termasuk desakan agar Hasto mundur dari jabatannya sebagai Sekjen PDIP.
Tak hanya itu, ia mengaitkan proses ini dengan upaya Presiden Jokowi yang disebut-sebut pernah menginginkan perpanjangan masa jabatan.
“Ini adalah bagian dari langkah awal untuk mengambil alih partai ketika permintaan masa jabatan tambahan itu tidak berhasil,” ujar Maqdir.
Pernyataan ini memperkuat narasi bahwa kasus hukum Hasto tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik nasional.
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK meminta agar Hasto dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.
Namun, tim kuasa hukum menilai seluruh proses pembuktian terlalu lemah jika hanya bertumpu pada asumsi dan logika yang tidak berdasar.
Mereka menegaskan bahwa saksi seperti Nurhasan pun sudah membantah keterlibatan, sehingga seharusnya tuduhan terhadap Hasto tidak dilanjutkan.
Kasus ini menjadi menarik karena bukan hanya menyangkut satu tokoh politik, tetapi juga membuka diskusi tentang sejauh mana independensi penegak hukum dalam menghadapi tokoh-tokoh dari partai besar.
Baca Juga: Kejagung Tak Berhenti di Tom Lembong, Enggartiasto Lukita Terancam Jadi Tersangka Kasus Impor Gula
Banyak pihak kini menantikan bagaimana Majelis Hakim akan memutuskan perkara ini, apakah benar-benar berdasarkan fakta hukum atau akan terbawa arus tarik-menarik kepentingan politik.
Dengan segala sorotan publik, kasus Hasto Kristiyanto bisa jadi penentu wajah penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia ke depan.***