Harvey Moeis disebut berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT), dan bekerja sama dengan Helena Lim dari PT Quantum Skyline Exchange.
Keduanya terbukti menerima dana haram senilai Rp420 miliar yang kemudian dicuci melalui berbagai saluran keuangan untuk menyamarkan asal-usulnya.
Praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh Harvey dan rekannya memperparah posisi hukum mereka karena memperlihatkan adanya niat jahat yang terstruktur.
Uang hasil korupsi tersebut tidak hanya dinikmati secara pribadi, tetapi juga digunakan untuk membangun citra glamor dan gaya hidup mewah yang mengaburkan realitas kejahatan yang telah dilakukan.
Kekayaan alam Indonesia, khususnya dari sektor tambang timah, seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun dalam kasus ini, aset negara justru dirampas dan dimanfaatkan segelintir orang untuk memperkaya diri sendiri.
Putusan MA ini menjadi penegasan penting bahwa pengadilan tertinggi di Indonesia tidak akan memberikan ruang bagi upaya manipulatif dalam perkara korupsi kelas kakap.
Pesan yang disampaikan sangat jelas: siapa pun yang terlibat dalam praktik perampokan kekayaan negara, tidak peduli seberapa kuat pengaruh atau koneksi yang dimiliki, akan tetap dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Dengan diketoknya palu putusan ini, proses minutasi perkara kini tengah berlangsung untuk pengarsipan resmi.
Baca Juga: Mulai 1 Juli 2025, Harga BBM Naik Serempak, Cek Daftar Lengkap Sebelum Dompet Kamu Kaget di SPBU!
Langkah ini sekaligus menandai berakhirnya seluruh upaya hukum yang bisa dilakukan Harvey Moeis.
Publik menanti langkah lanjutan Kejaksaan Agung dan KPK untuk menelusuri aliran dana serta mengusut kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam skema korupsi ini.
Vonis ini bukan sekadar putusan, melainkan alarm keras bagi semua pelaku industri ekstraktif agar berhenti mempermainkan komoditas milik negara.
Harvey Moeis kini tak hanya harus menghadapi dinginnya jeruji besi, tetapi juga catatan hitam dalam sejarah hukum Indonesia.***