Dalam sistem hukum Singapura, keputusan pengadilan ini bisa diajukan banding sekali, baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh pihak Paulus Tannos, jika ada keberatan terhadap putusan akhir.
Seperti diketahui, Paulus Tannos telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak Agustus 2019.
Ia dituduh terlibat dalam skandal korupsi KTP-el bersama tiga pihak lainnya: anggota DPR periode 2009–2014 Miryam S Haryani, Dirut Perum PNRI sekaligus Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, serta Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, Husni Fahmi.
Dalam pengusutan kasus ini, kerugian negara teridentifikasi sangat besar.
Baca Juga: Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji Era Yaqut Diselidiki KPK, Gus Yahya Pilih Bungkam
Perusahaan yang dipimpin Tannos, PT Sandipala Arthaputra, diduga menerima keuntungan sebesar Rp145,85 miliar dari proyek tersebut.
Sementara Miryam Haryani disebut menerima sekitar 1,2 juta dolar AS.
Manajemen konsorsium PNRI disebut turut diperkaya hingga Rp137,98 miliar, dan Perum PNRI mendapatkan keuntungan ilegal sebesar Rp107,71 miliar.
Tak hanya itu, Husni Fahmi disebut menerima dana suap sebesar 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta.
Dengan skema korupsi yang begitu terstruktur dan nilai kerugian yang besar, kehadiran Paulus Tannos di pengadilan Indonesia dinilai sangat penting untuk mengungkap aktor lain yang mungkin terlibat.
Baca Juga: Rolls Royce Senilai 2,5 Milyar Itu Terjual, Dananya Untuk Renovasi Rumah Warga Tak Mampu di Makassar
Langkah ekstradisi ini bukan hanya simbol keberhasilan diplomasi hukum antarnegara, tapi juga jadi bukti bahwa pelarian ke luar negeri bukan lagi pilihan aman bagi pelaku korupsi.
KPK berharap putusan hari ini akan membuka jalan bagi Tannos untuk segera diadili di tanah air.
Jika ekstradisi berhasil, maka ini bisa menjadi momen penting bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, sekaligus memperkuat kerja sama hukum internasional dalam memburu pelaku kejahatan lintas negara.***