Ia merujuk pada Pasal 142 KUHAP yang memberi kewenangan kepada jaksa untuk memisahkan perkara.
Dalam konteks tersebut, alat bukti yang digunakan memang bisa sama, karena menyangkut satu peristiwa pidana yang melibatkan beberapa pihak.
“Kalau ada tiga orang yang terlibat dalam satu perkara pidana dan hanya dua yang lebih dulu disidangkan, maka saat satu orang lainnya diproses belakangan, alat bukti tetap bisa digunakan. Ini bukan daur ulang, tapi memang bagian dari proses hukum yang sah,” jelasnya.
Fatahillah juga menyatakan bahwa pembuktian di persidangan yang dilakukan oleh penuntut umum telah sesuai dengan prosedur hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga: Cair Bulan Juni 2025, Ini Cara Cek Penerima BSU Rp 600.000 Bisa Langsung dari HP
Dengan demikian, narasi “daur ulang perkara” yang terus dibawa oleh pihak Hasto dianggap tidak berdasar secara hukum.
Pernyataan ahli ini sekaligus memperkuat posisi KPK dalam menghadirkan kembali kasus dugaan suap yang menyeret nama Hasto Kristiyanto.
Secara umum, jalannya sidang ini menunjukkan bahwa proses hukum terhadap pejabat tinggi partai politik tetap berjalan sesuai koridor hukum, meskipun dibayangi narasi politis dari pihak terdakwa.
Keterangan ahli juga menjadi bukti bahwa penegakan hukum tidak bisa dihentikan hanya karena perkara serupa sudah diputus sebelumnya, terutama jika ada pelaku lain yang belum tersentuh hukum.
Dengan perkembangan ini, publik tinggal menanti langkah hukum selanjutnya dalam proses peradilan yang tengah berjalan.
Apakah pengadilan akan mengakui dalil hukum dari jaksa KPK dan pendapat ahli, atau justru membuka ruang lain bagi pembelaan kubu Hasto?
Yang jelas, persidangan ini membuka lagi perdebatan seputar integritas proses hukum di Indonesia, dan menjadi sorotan bagi publik yang berharap pada keadilan tanpa pandang bulu.***