HUKAMANEWS - Dana pensiun seharusnya menjadi tumpuan harapan bagi para pegawai negeri sipil (PNS) setelah puluhan tahun mengabdi kepada negara.
Namun kenyataannya, sistem ini justru dikotori oleh praktik korupsi berskala besar yang dilakukan oleh oknum di balik pengelolaan dana tersebut.
Kasus terbaru yang menyeret nama eks Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih, menjadi pukulan telak bagi kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pensiun.
Ia didakwa melakukan korupsi senilai Rp1 triliun lewat investasi fiktif yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam masa depan ribuan PNS yang menggantungkan harapan pada Taspen.
Baca Juga: Viral di Instagram, Kasus Penganiayaan Santri Gegerkan Ponpes Ora Aji, Gus Miftah Minta Maaf
Investasi yang dijalankan Kosasih pada tahun 2019 disebut tidak mengikuti prosedur analisis dan rekomendasi yang semestinya, terutama saat ia menempatkan dana perusahaan pada reksa dana I-Next G2.
Dana itu digunakan untuk membeli Sukuk Ijarah TPS Food 2 tahun 2016 yang kemudian gagal bayar.
Ironisnya, Kosasih bukan hanya menyetujui transaksi tanpa dasar kuat, tetapi juga merevisi kebijakan internal Taspen agar investasi bermasalah tersebut bisa berjalan.
Langkah tersebut turut melibatkan Ekiawan Heri Primaryanto, Direktur Utama PT Insight Investment Management, yang disebut jaksa turut mengelola dana secara tidak profesional.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa Kosasih diduga memperkaya diri sendiri hingga Rp34,08 miliar dari praktik korupsi ini.
Baca Juga: Tembak Gamma, Aipda Robiq Dinilai Tidak Profesional Gunakan SOP
Uang haram tersebut digunakan untuk membeli berbagai aset mewah, termasuk 11 unit apartemen di sejumlah proyek prestisius seperti The Smith, Springwood, Sky House Alam Sutera, dan Belleza Permata Hijau.
Selain itu, ia juga disebut membeli tiga bidang tanah di kawasan Jelupang, Tangerang Selatan, dengan nilai total mencapai Rp4 miliar.
Tidak berhenti di situ, pihak lain pun ikut menikmati aliran dana ilegal tersebut.
Terdakwa Ekiawan Heri Primaryanto disebut menerima keuntungan sebesar 242.390 dolar AS, sementara Patar Sitanggang, yang saat ini masih berstatus sebagai saksi, mendapatkan Rp200 juta.