Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyoroti aspek ini dengan sangat serius.
Menurutnya, kegiatan pemusnahan amunisi seharusnya dilakukan di lokasi dengan pengawasan ketat dan dalam zona yang benar-benar steril dari kehadiran masyarakat sipil.
Ia menilai bahwa jika ada warga yang bisa mendekati lokasi sesaat setelah peledakan, maka besar kemungkinan ada celah pengamanan yang luput dari perhatian.
Hal ini tentu menjadi sinyal bahaya, terutama karena menyangkut nyawa manusia dan risiko ledakan lanjutan dari amunisi yang belum meledak sempurna.
Lebih lanjut, TNI melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menjelaskan bahwa warga setempat memang kerap datang ke lokasi setelah peledakan.
Tujuan mereka umumnya untuk mengambil serpihan logam sisa seperti besi dari mortir atau granat yang telah diledakkan.
Kegiatan ini ternyata sudah menjadi kebiasaan yang tidak didokumentasikan secara resmi, tapi diakui oleh pihak militer.
Dalam kasus Garut, dugaan sementara menyebutkan bahwa masih ada bahan peledak yang belum aktif sepenuhnya ketika warga mulai masuk ke area tersebut.
Ledakan susulan pun akhirnya terjadi saat warga sudah berada di titik rawan, menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar.
Menanggapi insiden ini, TNI AD menyatakan tengah melakukan investigasi internal secara menyeluruh.
Mereka juga mengklaim bahwa pemilihan lokasi sudah mengikuti prosedur dan berada cukup jauh dari permukiman warga.
Namun demikian, pihak TNI mengakui perlunya evaluasi menyeluruh terkait protokol keamanan, khususnya soal pengendalian warga di sekitar area peledakan.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menyampaikan duka cita atas insiden ini dan menekankan pentingnya investigasi untuk mencari tahu akar permasalahan.