Ni’am mengungkapkan bahwa sistem sertifikasi halal bukan sesuatu yang asing di negara-negara Barat, termasuk di Amerika Serikat sendiri.
Ia menyebut telah mengunjungi beberapa negara bagian di AS untuk berdialog dengan pelaku usaha dan memastikan mereka memahami standar halal yang berlaku di Indonesia.
Di sisi lain, MUI membuka ruang kompromi pada aspek teknis sertifikasi seperti proses administrasi, efisiensi biaya, dan durasi pengurusan, namun menolak kompromi terhadap prinsip substansi kehalalan.
Ni’am menegaskan bahwa fleksibilitas hanya mungkin dilakukan pada prosedur pendukung, bukan pada inti dari kehalalan itu sendiri.
“Kita tidak bisa mengorbankan prinsip fundamental hanya demi insentif ekonomi sesaat. Kalau itu dilakukan, maka hak masyarakat Indonesia akan dirugikan,” katanya mengingatkan.
Sikap MUI ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap terbuka untuk dialog internasional, namun tanpa mengorbankan nilai-nilai utama yang dilindungi hukum dan keyakinan mayoritas penduduknya.
Dengan demikian, perdebatan soal aturan halal bukan sekadar soal perdagangan, tapi menyentuh isu yang jauh lebih besar: penghormatan terhadap nilai budaya, agama, dan kedaulatan hukum suatu negara."***