Kasus ini sebenarnya bukan baru pertama kali muncul ke permukaan.
Isu keaslian ijazah Jokowi telah mencuat sejak tahun 2019 dan beberapa kali kembali ramai dibicarakan, meski pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah menegaskan bahwa ijazah Jokowi valid dan tercatat resmi.
UGM bahkan pernah menampilkan dokumen salinan untuk memperkuat pernyataan tersebut.
Namun demikian, kelompok yang meragukan keaslian dokumen itu tetap bersikukuh meminta bukti yang lebih eksplisit dan bisa diakses publik.
Mereka berdalih bahwa keterbukaan informasi adalah bentuk pertanggungjawaban moral dari seorang pemimpin kepada rakyatnya.
Baca Juga: Jokowi Datangi Polda Metro Jaya, Laporkan Dugaan Fitnah soal Ijazah Palsu
Tetapi argumen ini terbentur dengan batasan hak privasi yang juga diakui dan dijamin oleh hukum nasional maupun internasional.
Sikap tegas tim hukum Presiden yang menolak publikasi dokumen ini juga didasari kekhawatiran akan dampak sosial dan hukum yang lebih luas.
Menurut mereka, membuka dokumen pribadi tanpa alasan hukum yang kuat bisa membuka pintu bagi penyalahgunaan data serta pembentukan preseden hukum yang berbahaya.
Proses mediasi antara penggugat dan kuasa hukum Presiden pun berakhir tanpa kesepakatan.
Kedua pihak tetap pada posisinya: satu menuntut keterbukaan, lainnya mempertahankan hak privasi.
Baca Juga: Perempuan dan Pinjol, Layaknya Lem dan Perangko.Jumlahnya Kian Dominan
Dengan tidak adanya titik temu dalam mediasi, besar kemungkinan perkara ini akan berlanjut ke tahap persidangan pembuktian di pengadilan.
Di sisi lain, Presiden Jokowi juga telah mengambil langkah tegas dengan melaporkan tuduhan pemalsuan ijazah ke Polda Metro Jaya pada hari yang sama.
Langkah ini dinilai sebagai respons hukum serius terhadap isu yang dinilainya telah menyudutkan dan mencemarkan nama baiknya.