Salah satu tindakan yang diungkap jaksa adalah perintah Hasto kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggamnya.
Instruksi itu diberikan agar alat komunikasi Harun tidak terlacak dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK pada 8 Januari 2020.
Tak hanya itu, Harun juga diarahkan untuk tetap berada di kantor DPP PDIP agar tidak terdeteksi oleh penyidik KPK.
Akibat manuver ini, Harun Masiku berhasil meloloskan diri dan hingga kini masih berstatus buron, lebih dari lima tahun sejak OTT berlangsung.
Baca Juga: Uskup Agung Jakarta Bicara Soal Tahun Yubileum, Ingatkan Hasto Soal
Langkah-langkah Hasto dalam menghalangi penegakan hukum ini pun menjadi sorotan utama dalam dakwaan jaksa.
Selain perintangan penyidikan, Hasto juga didakwa telah menyuap Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta.
Tujuan dari suap itu disebut untuk memuluskan langkah Harun Masiku menduduki kursi DPR lewat jalur PAW.
Jaksa menyebut bahwa suap diberikan bersama-sama dengan tiga orang lainnya, yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku sendiri.
Saat ini, Donny sudah ditetapkan sebagai tersangka, Saeful telah divonis bersalah dan menjalani hukuman, sementara Harun Masiku masih belum ditemukan.
Baca Juga: Jaksa KPK Sebut Hasto Kristiyanto Berupaya Jaga Jarak dari Kasus Suap Harun Masiku
Kasus ini menjadi potret buram bagaimana kekuasaan dan politik dapat memengaruhi jalannya hukum.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk menyembunyikan pelanggaran hukum dari sorotan publik dan aparat penegak hukum.
Selain membebani nama besar partai politik, kasus ini juga menjadi ujian besar bagi integritas lembaga hukum dan kepercayaan publik terhadap proses penegakan keadilan.
Dengan adanya bukti berupa rekaman percakapan yang memuat frasa “perintah ibu” dan “garansi saya”, sorotan publik kini tertuju pada kemungkinan adanya aktor-aktor lain yang memiliki peran lebih besar di balik skandal ini.