Permintaan ini pun diterima oleh Aryanto Bakri. Tak lama kemudian, uang sebesar Rp60 miliar dalam bentuk dolar AS diserahkan kepada Wahyu Gunawan.
Sebagian dari uang tersebut kemudian diberikan kepada Muhammad Arif, yang sebagai balas jasa, memberikan "bonus" sebesar USD50.000 kepada Wahyu.
Setelah dana berpindah tangan, Arif Nuryanta mulai menyusun strategi berikutnya: menunjuk majelis hakim yang akan menangani perkara.
Djuyamto ditunjuk sebagai ketua majelis hakim, didampingi oleh Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom sebagai hakim anggota.
Tak berhenti sampai di situ, Arif Nuryanta juga memberikan uang sekitar Rp4,5 miliar kepada hakim Djuyamto dan Agam Syarif. Uang tersebut dibungkus rapi dalam tas, konon katanya sebagai "uang baca berkas".
Sebulan kemudian, uang tambahan sebesar Rp18 miliar kembali diserahkan di depan sebuah bank di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Pembagian uangnya pun terbilang rapi: sekitar Rp6 miliar untuk Djuyamto, Rp5 miliar untuk Ali Muhtarom, dan Rp4,5 miliar untuk Agam Syarif.
Ironisnya, semua pihak yang menerima uang tersebut sudah paham betul apa tujuan dari transaksi ini: menjatuhkan vonis lepas.
Dan benar saja, pada 19 Maret 2025, putusan onslag pun dijatuhkan kepada korporasi terdakwa kasus minyak goreng tersebut.
Kejagung kemudian bergerak cepat.
Pada 14 April 2025 dini hari, tiga hakim resmi ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
Ketiganya merupakan bagian dari majelis hakim yang mengeluarkan vonis lepas tersebut.
Ketiganya pun langsung ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba Cabang Kejagung.