HUKAMANEWS – Ada yang tidak beres di balik vonis lepas kasus mafia minyak goreng yang sempat bikin heboh publik.
Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya membongkar skenario tawar-menawar uang di balik layar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tempat perkara itu diputus.
Jumlah uang yang awalnya "hanya" Rp20 miliar, ternyata melonjak drastis hingga mencapai Rp60 miliar.
Praktik lancung ini bukan hanya melibatkan satu atau dua orang, tapi juga menyeret sejumlah nama besar di ranah hukum, termasuk hakim dan panitera pengadilan.
Dalam keterangannya, Kejagung menyebut adanya kesepakatan janggal untuk memuluskan putusan lepas (onslag) terhadap sebuah korporasi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Fakta ini sekaligus mencoreng citra lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Kini, semua mata tertuju pada proses hukum selanjutnya.
Apakah para pelaku akan benar-benar dihukum setimpal, atau kasus ini akan menguap seperti kabut pagi?
Kejagung mengungkap, praktik suap ini bermula dari adanya komunikasi antara pengacara terdakwa korporasi, Aryanto Bakri, dengan seorang panitera bernama Wahyu Gunawan.
Permintaannya jelas: kliennya ingin divonis lepas. Nilai yang ditawarkan di awal adalah Rp20 miliar.
Namun, uang itu dinilai belum cukup.
Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan permintaan tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat sekaligus Ketua PN Jakarta Selatan.
Ternyata, permintaan itu tidak langsung disetujui begitu saja.
Sebaliknya, Muhammad Arif justru menaikkan tarif menjadi tiga kali lipat—total Rp60 miliar.