Hal ini menyalahi prosedur administrasi yang seharusnya dijalani kepala daerah.
Secara aturan, bila seorang bupati hendak bepergian ke luar negeri, maka wajib mengirimkan surat permohonan izin dengan tembusan kepada gubernur dan Kemendagri.
Dalam konteks ini, Dedi menyebut Lucky telah mengabaikan prosedur itu.
Yang menjadi sorotan bukan hanya soal perizinan, tetapi juga soal sensitivitas pemimpin terhadap situasi rakyatnya.
Ketika mayoritas warga Jawa Barat harus menghadapi kemacetan panjang, antrean rest area, dan tekanan psikologis selama perjalanan mudik, pemimpinnya justru terlihat menikmati suasana santai di negara lain.
Kontras ini menimbulkan kekecewaan publik yang cukup besar.
Di sisi lain, Gubernur Dedi Mulyadi menunjukkan sikap sebaliknya.
Alih-alih mengambil cuti, Dedi justru turun langsung mengatur dan membantu arus mudik.
Ia menggulirkan kebijakan kompensasi kepada sopir angkot, kusir andong, dan tukang becak yang dihimbau tidak beroperasi selama Lebaran, demi mengurangi kepadatan lalu lintas.
Tak hanya itu, Dedi juga aktif memberikan dukungan ke kepolisian di titik-titik rawan kemacetan seperti Puncak Bogor dan Cianjur.
Ia bahkan mengajak para kepala daerah lainnya untuk turut terlibat langsung di lapangan demi memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat.
Kontras antara gaya kepemimpinan Dedi dan Lucky semakin mempertegas pentingnya nilai tanggung jawab dalam jabatan publik.
Dalam situasi seperti ini, publik tidak hanya menilai dari kinerja administratif semata, tetapi juga dari empati dan kepekaan pemimpin terhadap rakyatnya.