HUKAMANEWS - Universitas Indonesia (UI) kini berada di persimpangan jalan setelah menjatuhkan sanksi ringan kepada Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, terkait dugaan pelanggaran etik dalam disertasi miliknya.
Keputusan ini menuai kritik keras karena dinilai mencerminkan lemahnya independensi kampus dalam menghadapi kekuasaan.
Nama baik UI kini dipertaruhkan, dan masyarakat akademik menanti keberanian universitas dalam menegakkan standar akademik tanpa pandang bulu.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan bahwa UI seharusnya tidak tunduk pada tekanan politik.
Baca Juga: Lebaran 2025 Bakal Super Padat! Diprediksi 146,48 Juta Pemudik, DPR Harapkan Zero Accident!
Ia menilai, keputusan UI yang hanya memberikan sanksi pembinaan kepada Bahlil dan pihak terkait menunjukkan inkonsistensi dalam penegakan hukum akademik.
“Jangan menjadi melempem ketika berhadapan dengan kekuasaan selevel menteri,” ujar Ubaid, Jumat (7/3/2025).
Sanksi yang diberikan UI mencakup pembinaan terhadap promotor, co-promotor, direktur, kepala program studi, serta mahasiswa yang terlibat.
Rektor UI, Heri Hermansyah, menjelaskan bahwa sanksi ini diberikan secara proporsional sesuai tingkat pelanggaran yang terjadi.
Namun, publik menilai keputusan ini sebagai bentuk kompromi yang mencederai kredibilitas UI sebagai institusi pendidikan terkemuka.
Dalam dunia akademik, pelanggaran etik bukan perkara sepele. Kasus ini menjadi preseden buruk bagi sivitas akademika, karena memberi kesan bahwa standar akademik bisa dinegosiasikan ketika melibatkan pejabat tinggi.
Jika UI tidak mampu menunjukkan ketegasan, maka independensi institusi ini akan semakin dipertanyakan di masa depan.
Keputusan UI ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana kampus benar-benar bebas dari intervensi politik?
Dalam beberapa kasus, kampus sering kali diharapkan menjadi benteng terakhir integritas akademik.