HUKAMANEWS - Tanggal 20 Agustus 2024 menjadi momen penting ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan tiga putusan penting terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).
Namun, seiring dengan putusan tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR justru menampilkan sikap yang mencurigakan, yang bisa dianggap sebagai pembangkangan konstitusi.
Mari kita kupas tuntas kontroversi ini.
Putusan MK: Kemenangan Demokrasi?
Pertama, mari kita bahas keputusan MK yang sangat krusial.
Putusan ini menyatakan bahwa partai politik dapat mencalonkan kepala daerah, termasuk gubernur dan wakil gubernur, meskipun tidak memperoleh kursi di DPRD.
Ini adalah langkah maju dalam menegakkan asas demokrasi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD, yang menyatakan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis.
Keputusan ini sangat penting karena suara rakyat yang diberikan kepada partai politik yang tidak mendapat kursi di parlemen tidak boleh diabaikan.
Dalam konteks ini, setiap suara rakyat tetap memiliki nilai dalam proses pemilihan kepala daerah.
Kedua, ambang batas pencalonan kepala daerah diubah dari 25 persen perolehan suara atau 20 persen perolehan kursi di DPRD menjadi antara 6,5 hingga 10 persen perolehan suara, tergantung dari jumlah pemilih.
Perubahan ini bertujuan agar partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap bisa berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah.
Hal ini juga mencerminkan prinsip kesetaraan hukum dan kepastian hukum yang adil seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 38D ayat (1) UUD.