Pengamanan Persuasif dan Humanis, atau Sekadar Lip Service?
Dalam instruksinya, Susatyo mengingatkan seluruh personel yang terlibat pengamanan untuk selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi maupun terprovokasi, mengedepankan negosiasi, dan menjaga keamanan serta keselamatan.
Kata-kata ini terdengar bijak, namun tidak sedikit yang skeptis apakah pesan ini benar-benar akan diterapkan di lapangan.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Unggul Telak dalam Survei Pilgub Jabar Pasca Ridwan Kamil ke Jakarta
Pasalnya, sejarah mencatat bahwa tidak jarang aksi unjuk rasa berujung pada bentrok dengan aparat, terlepas dari niat baik yang diutarakan sejak awal.
Selain itu, Susatyo juga mengimbau kepada para koordinator lapangan (korlap) dan orator untuk melakukan orasi dengan santun dan tidak memprovokasi massa.
"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," lanjutnya.
Baca Juga: Putusan MK: ‘Game Changer’ Pilkada 2024, Mendobrak Monopoli Kekuasaan
Pernyataan ini tentu memiliki nada diplomatis, namun apakah ini cukup untuk meredam gejolak massa yang sudah terbakar semangat? Waktu yang akan menjawab.
Massa Aksi dan Putusan MK: Mengawal atau Menekan?
Aksi ini diramaikan oleh kehadiran sejumlah tokoh penting, mulai dari guru besar, akademisi, hingga aktivis 1998.
Mereka turun ke jalan untuk mengawal putusan MK yang dinilai krusial terkait tahapan pencalonan kepala daerah.
Putusan tersebut, yang dikeluarkan pada Selasa (20/8), mencakup dua poin penting: perubahan ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik, serta penegasan mengenai batas usia minimum calon kepala daerah yang dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, tak semua pihak senang dengan keputusan ini.