HUKAMANEWS - Fenomena maraknya perjudian online atau judol di kalangan anak-anak kembali menjadi perhatian serius Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan.
Belakangan ini, KPAI menyoroti peran signifikan para influencer dan gamer di media sosial yang sering kali mengiklankan permainan judol.
Menurutnya, hal ini berpotensi besar mempengaruhi perilaku serta minat anak-anak, bahkan bisa mengarah pada kecanduan judi online.
"Influencer dan gamer memiliki andil besar dalam meningkatkan popularitas dan menyebarluaskan permainan judi online di kalangan anak-anak," ujar Kawiyan dalam konferensi pers pada Jumat, 21 Juni 2024.
Menurut Kawiyan, praktik iklan yang dilakukan di berbagai platform digital oleh influencer dan gamer seringkali tidak mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap anak-anak.
Ia menegaskan perlunya tanggung jawab lebih dalam memilih konten yang akan dipromosikan di media sosial, terutama yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental dan perilaku anak.
Kawiyan juga mendorong untuk adanya kerja sama yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta guna meningkatkan kesadaran akan risiko judi online, khususnya bagi anak-anak di bawah umur.
"Langkah preventif yang efektif harus segera diterapkan, dan pentingnya sosialisasi bahaya judi online kepada anak-anak serta orang tua tidak boleh diabaikan," tambahnya.
Baca Juga: Yamaha NMAX TURBO, Sensasi Berkendara Baru dengan Teknologi Canggih
Di samping upaya pengawasan dan pencegahan, Kawiyan menyoroti urgensi pemerintah dalam melakukan pendataan terhadap anak-anak yang terpapar judi online.
Menurutnya, anak-anak yang terjerat dalam kecanduan judi online seharusnya dilihat sebagai korban dari permasalahan yang lebih kompleks di dalam masyarakat.
"Pemerintah harus memberikan perlindungan, pendampingan khusus, dan upaya pemulihan kepada anak-anak yang sudah terlanjur terjerumus dalam dunia judi online," tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa anak-anak yang terlibat dalam aktivitas judi online seharusnya tidak hanya disalahkan sebagai pelaku, melainkan lebih ditekankan sebagai korban dari kelemahan sistem yang belum sepenuhnya melindungi mereka.