HUKAMANEWS - Tahun politik sudah dimulai. Banyak elite mulai bekerja keras, saling serang dan menjatuhkan satu dengan lainnya. Di sisi lain, persoalan korupsi dan penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah terbesar di negeri ini.
Banyak figur baru mulai terobsesi dan berusaha membranding diri melalui media sosial dengan tim yang sangat mumpuni. Mereka memoles kliennya berdandan dengan bahasa memikat dan bersikap murah hati supaya masyarakat melihatnya sebagai sosok paling baik, paling benar, paling bijaksana, paling murah hati, paling mengerti hukum, dan paling anti korupsi.
Di sisi lain kasus-kasus hukum 'level' biasa bisa digoreng sedemikian rupa hingga makin memanas. Lalu didesain dengan manajemen pemberitaan media, bukan untuk memberikan edukasi masyarakat tapi justru untuk menjatuhkan wibawa lembaga dan institusi Negara.
Mengutip pernyataannya Gus Dur, “Bangsa ini penakut karena sejak dulu tidak mau bertindak kepada yang bersalah. Korupsi dibiarkan dan tidak ditindak,” ternyata masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.
Sering kita lihat persoalan-persoalan penegakkan hukum yang terus muncul karena hukum tidak serius dikelola oleh orang-orang jujur. Korupsi, makan uang haram, dan sikap sewenang-wenang yang semakin tumbuh subur hampir terjadi di semua lini harus diberantas tanpa pandang bulu.
Dari tahun ke tahun praktik korupsi semakin gila. Praktik penegakkan hukum masih diwarnai dengan kompromi duit dalam jumlah sangat besar.
Jika sungguh-sungguh ingin Indonesia maju, maka penegakkan hukum harus menjadi prioritas Negara.
Dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia kembali diperhitungkan dunia. Sikap kepemimpinan yang bersahaja membuat banyak pemimpin dunia meniru gaya dan sikap kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Tetapi masih banyak masalah penegakkan hukum yang semakin jauh dari harapan rakyat. Banyak oknum penegak hukum yang bermasalah justru diberi promosi jabatan lebih tinggi. Bagaimana masa depan Indonesia jika peristiwa semacam ini dibiarkan saja oleh Negara?
Di sisi lain, cukup banyak masyarakat yang semakin tidak tahu bagaimana dan di mana harus mengadu jika upaya-upaya untuk mendapatkan keadilan justru dihambat oleh para penegak hukum yang bermasalah.
Skenario tembak menembak di Saguling, konsorsium judi, mafia tambang, dalam waktu yang singkat tenggelam ditelan angin.
Kemudian muncul lagi seorang oknum jenderal jual sabu barang bukti, peristiwa penganiayaan terhadap David Latumahina yang dilakukan secara keji oleh Mario Dandy Satriyo, anak seorang pejabat Pajak eselon 3 yang dalam laporan LHKPN mencatatkan kekayaan Rp 56,1 milyar,namun belakangan disinyalir memiliki rekening gendut 500 M.
Belum usai, disusul berita tentang prilaku hedon Kepala Bea Cukai Yogyakarta dan Makasar yang kerap pamer harta kekayaannya di media sosial. Ada indikasi temuan transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun di lingkungan Bea Cukai oleh PPATK, bakal terus digoreng oleh beberapa aktor di belakang layar.
Dan masih banyak lagi ketidakadilan yang justru diprakarsai oknum-oknum yang memiliki jabatan. Mereka hobi goreng menggoreng kasus dengan tujuan money. Sementara, berapa juta rakyat yang haus keadilan justru diabaikan oleh oknum-oknum yang justru sibuk bergaul dengan para mafia.