Korupsi, Penegakan Hukum, dan Indonesia Maju

photo author
Sukowati Utami JI
- Minggu, 12 Maret 2023 | 14:00 WIB
Ilustrasi. Korupsi, penegakan hukum, dan Indonesia Maju
Ilustrasi. Korupsi, penegakan hukum, dan Indonesia Maju

Makin ke sini, krisis etika dan moral di lingkungan pejabat/oknum di semua institusi/lembaga negara justru lebih parah. Mereka menjabat bukan untuk melayani dan mengayomi rakyat sebaliknya, justru sering menyakiti hati rakyat. Pejabat/oknum tidak suka bergaul dengan orang miskin tetapi selalu memiliki banyak waktu untuk siapa saja asal ada uangnya.

Sejatinya, mafia tanah, mafia hukum, mafia tambang, mafia migas, mafia judi dan mafia-mafia lainnya tidak akan pernah muncul dalam pemberitaan media jika aparat penegak hukum amanah, tegas dalam tugas jabatan, tidak mau disuap dan taat hidup dalam kebenaran.

PPATK harus tegak lurus dan tidak tebang pilih karena masih ribuan oknum/pejabat/elite parpol jumlah aset dan kekayaannya sangat luar biasa.

Pengusaha busuk dan pejabat/oknum/elite busuk akan semakin menjamur dan berkembang pesat jika Negara selalu merekrut dan mempromosikan pejabat/okum yang salah.

Etika bernegara

Peradaban sebuah bangsa dikatakan tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial maupun di arena penegakkan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika.

Etika dalam penegakkan hukum hanya academic exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku kuliah. Senyatanya, etika penegakkan hukum waktu sekarang ini hanya sekedar pemanis bibir.

Kompetisi jabatan dalam institusi penegak hukum tereduksi hanya pada persoalan siapa yang dapat memberi setoran paling banyak pada pimpinan dalam meraih jabatan strategis. Sehingga main sikat dan main tendang di lapangan karena kebutuhan biaya tinggi dilakukan tanpa lagi memedulikan etika. 

Penegakkan hukum tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong melalui media sosial yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh para aktor busuk yang jelas-jelas dapat membahayakan Negara.

Kecenderungan lebih menggunakan “okol” ketimbang hati nurani menunjukkan melemahnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.

Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan. Tetapi siapapun yang berkuasa harus patuh dan tunduk pada hukum. Ini adalah sikap dasar hidup bernegara yang benar.

Setiap orang yang diberikan kepercayaan untuk memiliki kekuasaan harus cerdas membedakan benar dan salah. Penegakkan hukum ibarat pedang bermata dua, tetapi hukum tidak pernah memenggal kepala orang yang tidak bersalah.

Jangan karena memiliki jabatan kemudian menyelewengkan sikap dan kekuasaan untuk uang, memanipulasi kebenaran karena uang. Kekuasaan dimana-mana memiliki kecenderungan korup dan sewenang-wenang.

Sekali lagi, Indonesia harus berani menyentuh pejabat atau oknum pejabat yang tidak pernah berfikir untuk Indonesia Maju. Siapapun yang tidak setia dalam kebenaran tidak layak memiliki jabatan strategis apalagi dalam tugas penegakkan hukum.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: opini

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X