HUKAMANEWS – Praktik sharenting, yaitu kebiasaan orang tua membagikan konten anak di media sosial secara berlebihan dapat berdampak serius pada perkembangan identitas anak.
Fenomena sharenting ini mengemuka dalam Forum Grup Diskusi (FGD) penelitian ”Sharenting di Era Digital: Analisis Netnografi Terhadap Respons Netizen pada Konten Anak Viral di Instagram” yang digelar Program Studi Digital Public Relation Telkom University.
Dr. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M.I.Kom., selaku ketua peneliti Hibah DRTPM DIKTI dari Telkom University, membagi fenomena sharenting berdasarkan komentar netizen menjadi lima diskursus yaitu bullying, kecaman moral, kesalahan pola asuh, manipulasi sosial, dan moral empati.
Baca Juga: Tunggu Laporan Pihak Keluarga, Unnes Siap Berikan Bantuan Hukum Kepada Iko Juliant Junior
Yeni, M.Psi., sebagai psikolog anak, berpendapat masa kanak-kanak adalah fase penting untuk mengeksplorasi diri dan lingkungan. Namun, ketika kehidupan pribadi anak diviralkan, proses pembentukan identitas itu menjadi terganggu.
“Seharusnya anak bertanya ‘siapa saya?’ melalui eksplorasi diri, tapi ketika kontennya sudah dikurasi dan ditentukan orang tua, identitas itu seolah dipaksakan dari luar,” ungkapnya.
Yeni menambahkan bahwa anak-anak belum sepenuhnya memahami konten yang diunggah atas nama mereka. Proses editing dan narasi sering kali dikendalikan sepenuhnya oleh orang tua, sehingga anak kehilangan kesempatan untuk berekspresi secara mandiri.
Lebih jauh, Yeni menyoroti dampak media sosial terhadap kesehatan mental anak. Validasi dalam bentuk likes dan komentar dapat memunculkan fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yang pada akhirnya membuat anak merasa cemas hingga depresi.
“Penelitian menunjukkan bahwa 85 persen isi pikiran manusia cenderung negatif. Jika anak sejak kecil terpapar komentar buruk, maka citra dirinya akan terbentuk dari opini orang lain, bukan dari dirinya sendiri,” jelasnya.
Selain masalah identitas, sharenting juga berisiko mengurangi waktu bermain anak. Aktivitas produksi konten yang dilakukan berulang-ulang dapat merampas kesempatan anak untuk menikmati masa kecilnya.
Baca Juga: DPR Diguncang! KPK Seret Iman Adinugraha dalam Kasus CSR BI-OJK, Benarkah Ada Aliran Dana Gelap?
Ia sangat menekankan pentingnya meminta persetujuan anak sebelum mengunggah konten apapun di media sosial. Ia mencontohkan kebiasaan orang tua mengunggah foto bayi telanjang yang dianggap lucu, padahal hal itu akan menjadi jejak digital permanen hingga anak dewasa.
“Anak bukan objek konten, mereka individu yang punya hak atas privasi dan martabat. Orang tua harus menghargai itu,” pungkasnya.
Artikel Terkait
Pekan Depan, Australia Siapkan Aturan Denda Kepada YouTube Jika Nekat Tayangkan Konten Berbahaya Untuk Anak
Pimpinan Pusat Fatayat NU Resmi Luncurkan Lembaga Bantuan Hukum untuk Perempuan dan Anak dari Rentannya Tindak Kekerasan
WASPADA! Bukan Cuma Game, Roblox Ternyata Bisa Jadi ‘Ladang Berburu’ Predator Seksual yang Mengincar Anak-Anak
Komisioner KPAI: Sharenting Bukan Tren Lucu, Anak Bisa Jadi Korban di Medsos
Polisi Tangkap Direktur Lokataru Delpedro Marhaen, Diduga Sebar Hoaks dan Rekrut Anak untuk Aksi Anarkis