MK juga menyoroti bahwa penetapan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen sebelumnya tidak didasarkan pada rasionalitas yang kuat, sehingga menimbulkan disproporsionalitas antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR.
Hal ini dianggap melanggar hak konstitusional pemilih, yang seharusnya dapat diwakili secara adil dan merata dalam sistem perwakilan.
Kesimpulannya, putusan MK ini membuka jalan bagi perbaikan substansial dalam sistem pemilu Indonesia.
Dengan mempertimbangkan lima panduan dari MK, diharapkan pembentuk undang-undang dapat merumuskan aturan ambang batas parlemen yang tidak hanya adil dan rasional tapi juga mendukung terciptanya sistem demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.
Saatnya kita menyongsong era baru pemilu di Indonesia, di mana setiap suara benar-benar dihargai dan memiliki dampak nyata dalam pembentukan kebijakan negara.***
Artikel Terkait
Tak Mau Ambil Ambil Pusing Atas Gugatan Anwar Usman ke PTUN Jakarta, Hakim MK Fokus Pada Penyelesaian Perkara
Menakar Kedewasaan Berpolitik di Tengah Potensi Sengketa Pemilu 2024 dan Integritas MK
Mantan Hakim MK Maruarar Siahaan: Bukti Kecurangan Suara Kongkrit Pasangan Prabowo Gibran Bisa Diskualifikasi
MK Kabulkan Gugatan Perludem Soal Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Berlaku untuk Pemilu 2029
MK Putuskan Ambang Batas 4 Persen Tak Sejalan dengan Keadilan Pemilu, Perintahkan Revisi UU Pemilu
MK Tidak Menghapus Ambang Batas Parlemen, Tetapi Meminta Perubahan Yang Lebih Rasional, Apa Implikasinya Untuk Pemilu Mendatang?
Putusan MK Soal Jabatan Jaksa Agung Dilarang Pengurus Parpol, Langkah Maju Menuju Profesionalisme dan Transparansi