"Permohonan provisi para pemohon tidak beralasan menurut hukum; pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan konklusi.
Para pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai dengan Putusan MK Nomor 90 tidak memenuhi syarat formil karena ada kecacatan formalitas dalam penyusunan dan pemberlakuan sebuah norma.
Terkait dalil tersebut, mahkamah menegaskan bahwa MK tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan terbukti salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik.
"Hal tersebut tidak serta-merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal," kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Selanjutnya, para pemohon mendalilkan agar MK dapat melakukan judicial activism dan menggunakan hukum progresif sebagai pendekatan utama dalam mengadili perkara yang diajukan.
Terhadap dalil ini, MK juga menolaknya.
"Permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 90 tidak mengandung kecacatan formil, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945," ujar Guntur.
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih menyatakan memiliki alasan berbeda (concurring opinion).***
Artikel Terkait
Arti Dissenting Opinion yang Mewarnai Putusan Hakim MK terkait batas Usia Capres dan Cawapres
5 Pernyataan Mengejutkan Anwar Usman Usai Dipecat, Mulai dari Fitnah hingga Tak Mundur sebagai Hakim MK
Detik-detik Jelang Pelantikan Suhartoyo Jadi Ketua MK, Resmi Gantikan Anwar Usman
Anwar Usman Ajukan Surat Keberatan Atas Pengangkatan Suhartoyo Jadi Ketua MK
Rilis UGM, Sering Bolos di Rapat Permusyawaratan Hakim Sampai 28 Kali, Hakim MK Anwar Usman Terkejut