Yang menjadi sorotan tajam adalah fakta bahwa ini merupakan serangan keempat Israel di kawasan yang sama sejak gencatan senjata diberlakukan pada 27 November 2024.
Langkah ini mempertegas tudingan bahwa Israel tidak benar-benar menghormati kesepakatan damai yang disepakati.
Data dari pemerintah Lebanon menunjukkan, sejak kesepakatan itu berlaku, sudah hampir 3.000 pelanggaran gencatan senjata terjadi.
Setidaknya 208 orang tewas dan lebih dari 500 lainnya luka-luka akibat serangan yang terus berulang.
Baca Juga: Seluk Beluk Haji Furoda yang Kini Sudah Tidak Diterbitkan Pemerintah Arab Saudi
Padahal dalam perjanjian tersebut, Israel diwajibkan menarik seluruh pasukan dari Lebanon selatan paling lambat 26 Januari 2025.
Namun, dengan berbagai alasan keamanan, batas waktu itu diperpanjang hingga 18 Februari. Nyatanya hingga saat ini, lima pos militer Israel masih aktif beroperasi di perbatasan.
Kondisi ini bukan hanya memperburuk hubungan bilateral, tetapi juga mengganggu stabilitas kawasan.
Dunia internasional mulai menunjukkan sikap resah terhadap eskalasi kekerasan yang tidak kunjung berhenti, terutama ketika serangan dilakukan di momen-momen sakral seperti malam takbiran.
Serangan ini bukan sekadar pelanggaran perjanjian, tetapi juga menciptakan trauma baru bagi warga sipil yang selama ini sudah hidup dalam tekanan.
Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi kelompok paling rentan dalam konflik yang terus diperpanjang oleh kebijakan militer agresif.
Dengan situasi yang terus memanas, perhatian dunia kini tertuju pada bagaimana komunitas internasional akan merespons pelanggaran gencatan senjata ini.
Apakah akan ada langkah konkret untuk menghentikan kekerasan, ataukah ini akan menjadi catatan kelam baru dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah.***