“Sekolah dan pesantren bisa menjadi laboratorium perubahan, tempat anak-anak belajar bahwa mengelola sampah berarti menjaga kehidupan,” ujarnya.
Selain persoalan sampah, konservasi air juga menjadi perhatian penting.
Prof. Prabang mendorong sekolah dan pesantren Muhammadiyah untuk menjadi teladan dalam mengelola air secara bijak.
Langkah sederhana seperti rainwater harvesting (panen air hujan), sumur resapan, biofilter sederhana, serta pemanfaatan greywater untuk penyiraman taman dapat diterapkan dengan biaya ringan namun berdampak besar.
“Air adalah kehidupan. Jika sekolah mampu memanen air hujan dan memperbaiki sanitasi, maka mereka sedang membangun kedaulatan air di tingkat lokal,” tuturnya.
Baca Juga: Samsung Galaxy Z Flip8 Bakal Lebih Tipis dan Ringan, Cocok untuk Gaya Hidup Aktif dan Trendy
Ia menegaskan, pendidikan lingkungan adalah bagian dari ibadah dan dakwah.
“Menjaga air dan bumi berarti menjaga amanah Tuhan. Pendidikan menjadi jalan untuk menyalakan kesadaran ekologis di generasi muda,” tambahnya.
Bagi Prof. Prabang, gerakan lingkungan bukan sekadar kampanye hijau, tetapi panggilan iman yang membumikan nilai Islam berkemajuan.
“Do right, clean, comfort, and healthy — lakukan yang benar, bersih, nyaman, dan sehat,” pesannya menutup pelatihan.
Gerakan Ekologis sebagai Dakwah
TOT Kader Pintar yang diikuti 58 peserta dari sekolah dan pondok pesantren Muhammadiyah se-Indonesia bukan sekadar forum pelatihan, tetapi gerakan membangun kesadaran bersama.
Dalam pelatihan ini, peserta mempelajari teori sekaligus praktik — mulai dari memilah sampah, membuat kompos, mengelola bank sampah, hingga simulasi panen air hujan.