climate-justice

Pelatihan Keadilan Iklim untuk Pemuda Lintas Iman di Pontianak Lahirkan Rencana Aksi Rumah Ibadah Ramah Lingkungan

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 07:08 WIB
Parid Ridwanuddin, Campaign Manager GreenFaith Indonesia, menjelaskan tentang akar krisis iklim dengan mengutip pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Religion and the Order of Nature.

HUKAMANEWS GreenFaith — Krisis iklim bukan hanya urusan lingkungan, melainkan cermin dari cara manusia memaknai iman. Dari Pontianak, para pemuda lintas iman menunjukkan bahwa menjaga bumi adalah bentuk ibadah yang paling tulus.

Sejumlah pemuda dari berbagai agama sepakat bahwa keimanan tak berhenti pada doa. Mereka menjawab krisis iklim dengan tindakan nyata: menanam pohon, mengurangi sampah plastik, dan menjadikan rumah ibadah lebih ramah lingkungan.

Kesadaran itu tumbuh dalam kegiatan Pelatihan Keadilan Iklim untuk Pemuda Lintas Iman yang digelar GreenFaith Indonesia bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kalimantan Barat, Jumat (10/10). Pelatihan ini menjadi yang pertama di Kalimantan Barat sekaligus yang ke-12 secara nasional sejak gerakan lintas iman ini hadir di Indonesia.

“GreenFaith hadir untuk mempertemukan nilai-nilai iman dan kepedulian ekologis. Semua agama mengajarkan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama,” ujar Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.

Pelatihan ini diikuti 28 pemuda lintas iman dari tujuh komunitas agama besar di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Mereka datang dengan latar berbeda, namun membawa semangat yang sama — bumi tidak boleh terus dibiarkan sakit.

Baca Juga: Pemuda Lintas Iman di Pontianak dan GreenFaith Indonesia Bergerak Wujudkan Rumah Ibadah Ramah Lingkungan

Dalam sesi bertema Agama, Kerusakan Alam, dan Keadilan Iklim, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye GreenFaith Indonesia, memaparkan wajah buram Kalimantan Barat yang kian rentan terhadap bencana. Deforestasi, tambang batu bara, dan suhu ekstrem membuat masyarakat sulit memprediksi musim dan cuaca.

“Hubungan antara banjir, deforestasi, dan krisis iklim di Kalbar itu nyata. Akar krisis ekologis sesungguhnya ada pada krisis spiritual,” ujarnya.

Parid mengutip pemikir Islam Seyyed Hossein Nasr dalam Religion and the Order of Nature, yang menyebut bahwa kemanusiaan modern telah meninggalkan langit, dan karena itu kehilangan keseimbangan dengan bumi.

Ia juga menyinggung Dokumen Al-Mizan, panduan etika lingkungan global dari dunia Islam, yang menolak pandangan antroposentris—bahwa manusia adalah pusat dari segalanya.

“Keadilan iklim berarti memulihkan kembali hubungan suci antara manusia dan alam,” tegasnya.

Baca Juga: Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Ekoteologi: Iman yang Berbuah Aksi

Sesi Diskusi dan Sharing Ekoteologi menghadirkan momen reflektif. Para peserta menggali ajaran dan praktik spiritual dari berbagai agama yang berpihak pada kelestarian bumi.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB