Tagar #SavePulauPari kemudian lahir, menjadi medium solidaritas. Di media sosial, kampanye ini menghubungkan suara warga Pulau Pari dengan publik yang lebih luas. Dari Jakarta hingga Jenewa, dari komunitas lokal hingga jaringan internasional, isu Pulau Pari menegaskan bahwa dampak krisis iklim bersifat lintas batas.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, Pulau Pari telah kehilangan 11 persen daratannya, sementara nelayan kehilangan lebih dari 70 persen tangkapan ikan. Fakta ini sejalan dengan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang menyebut permukaan laut global terus meningkat akibat emisi karbon dari industri besar. Dengan kata lain, apa yang dialami Pulau Pari adalah potret nyata dari ketidakadilan iklim global.
Pada akhirnya, krisis iklim bukan hanya tanggung jawab warga Pulau Pari atau organisasi lingkungan. Krisis iklim adalah persoalan kita semua. Dari meja makan hingga layar gawai, dari kebijakan pemerintah hingga pilihan gaya hidup, kita dapat ikut mengambil bagian.
Tagar #SavePulauPari adalah pintu sederhana untuk menunjukkan kepedulian. Membagikan cerita Pulau Pari, menandatangani petisi, berdonasi, hingga menekan pengambil kebijakan agar berpihak pada rakyat dan lingkungan adalah langkah nyata yang bisa dilakukan.
Pulau Pari bukan sekadar pulau kecil yang berjuang sendirian. Ia adalah simbol bagi ribuan pulau lain di Indonesia dan dunia yang menghadapi ancaman serupa. Jika Pulau Pari tenggelam, maka kita sedang menyaksikan tenggelamnya nurani kita bersama.***