HUKAMANEWS GreenFaith - Asmania, 40 tahun, seorang nelayan di Pulau Pari, memandang laut di gobyok sendu petang itu dengna tatapan kosong. Air pasang yang kian sering naik membuatnya resah.
Banjir rob tak hanya mengikis tepi pantai, tetapi juga merusak ratusan ikan budidayanya. Dalam satu kali banjir di penghujung 2021, sekitar 300 ikan hilang, membuatnya kehilangan penghasilan hingga Rp1,75 juta.
“Saya takut Pulau Pari akan tenggelam,” ujarnya lirih.
Bagi Asmania dan warga lainnya, banjir rob bukan lagi sekadar fenomena alam. Ia adalah ancaman nyata yang mengancam tanah kelahiran mereka.
Pulau Pari, yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta, adalah rumah bagi sekitar 1.500 jiwa. Pulau kecil itu kini menjadi simbol perjuangan menghadapi krisis iklim global. Empat warganya, yakni Asmania, Arif Pujianto, Mustaghfirin, dan Edi Mulyono, berani mengambil langkah hukum yang tak lazim.
Mereka menggugat Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia yang berbasis di Swiss, atas tuduhan bertanggung jawab terhadap krisis iklim yang memperparah kerusakan lingkungan di pulau mereka.
Langkah ini merupakan gugatan iklim pertama dari Indonesia, bahkan kedua dari negara-negara selatan dunia, setelah gugatan serupa dari warga Peru terhadap perusahaan energi Jerman.
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mencatat bahwa Holcim sepanjang 1950 hingga 2021 telah melepaskan lebih dari tujuh miliar ton karbon dioksida, setara 0,42 persen dari total emisi industri global sejak 1750. Angka itu bahkan dua kali lebih besar daripada emisi seluruh negara Swiss dalam periode yang sama.
Arif Pujianto, salah satu penggugat, masih mengingat jelas bagaimana rumahnya diterjang banjir pada malam hari. Air bukan hanya merendam ruang tamu, tetapi juga mencemari sumur keluarga. Ia terpaksa mengeluarkan biaya hingga Rp3 juta untuk memperbaiki rumahnya.
“Kami tidak ingin hanya jadi korban,” katanya dalam wawancara dengan Walhi.
Pengalaman serupa juga dialami Mustaghfirin, nelayan yang kehilangan seperempat penghasilan bulanan karena harus berulang kali memperbaiki perahu dan membersihkan pantai.
Tidak hanya nelayan, para pelaku wisata lokal pun merasakan kerugian besar. Edi Mulyono, pemilik homestay, mengaku kehilangan Rp5,5 juta akibat pembatalan kunjungan wisatawan ketika banjir rob menghantam. Ditambah kerugian dari rusaknya ikan budidaya, total penghasilannya merosot drastis.
Menurut laporan Mongabay, kondisi ini membuat Pulau Pari seolah berada di garis depan krisis iklim. Bagi warganya, tuntutan hukum terhadap Holcim adalah jalan terakhir untuk memperjuangkan hak mereka atas lingkungan hidup yang layak.